Tahun 1986, sebagai seorang yang masih muda belia, penuh rasa ingin tahu, saya pertama kali menjejakkan kaki di Makau---sebuah kota yang saat itu masih berada di bawah administrasi Portugis. Makau memperkenalkan saya pada banyak hal baru, dari aroma Portuguese Egg Tart di toko roti tua di dekat reruntuhan gereja Sao Paolo , hingga arsitektur kolonial yang berdampingan dengan kuil-kuil Tionghoa. Tapi ada satu hal yang paling membekas, sesuatu yang saya temui bukan di dinding atau langit-langit, melainkan di bawah kaki saya: pola batu hitam dan putih yang melengkung seperti gelombang laut.
Saya pertama kali memperhatikannya di Largo do Senado, alun-alun utama kota. Lantai tempat saya berdiri bukan sekadar lantai, tapi semacam karya seni yang dibentuk dari ribuan batu kecil. Desainnya seolah bergerak, seperti air beriak atau pasir yang tertiup angin. Saya tidak tahu namanya, apalagi sejarahnya. Yang saya tahu, saya terpesona.
Pola-pola itu juga saya temui di Rua de So Paulo, jalan menuju reruntuhan Gereja St. Paul, dan di sekitar Avenida de Almeida Ribeiro. Bahkan di taman-taman kecil, trotoar ditata dengan motif yang begitu rapi dan artistik. Saya sempat mengira itu hanya bagian dari gaya kota Makau, tak sadar bahwa saya sedang melangkah di atas jejak sejarah panjang yang berasal dari belahan dunia lain.
Dari Batu ke Budaya
Waktu itu belum ada internet, ketika membaca buku, saya baru mengetahui bahwa pola batu yang saya injak-injak itu disebut calcada (baca. Kalsada) portuguesa, atau dalam bahasa Inggris: Portuguese pavement. Teknik ini rupanya sudah ada sejak zaman Romawi, tapi berkembang pesat di Portugal pada abad ke-19. Batu kapur putih dan basalt hitam disusun dengan tangan oleh para pengrajin untuk membentuk pola-pola: ombak, bunga, bahkan kapal.
Puncak popularitas Calcada terjadi ketika digunakan untuk merekonstruksi Rossio Square di Lisboa setelah gempa bumi besar tahun 1755. Dari sanalah teknik ini menyebar ke wilayah jajahan Portugis: Brasil, Mozambik, Goa, dan tentu saja Makau. Di Makau, penggunaan calcada portuguesa mulai masif di akhir abad ke-19, terutama di kawasan pusat kota. Meski sempat tergeser oleh aspal dan trotoar modern, pada era 1980-an calada kembali dilestarikan sebagai bagian dari identitas kota.
Yang menarik, setelah Makau dikembalikan kepada Tiongkok pada 1999, calcada tetap dipertahankan. Bahkan, para pengrajin lokal dilatih langsung oleh ahli dari Portugal untuk menjaga keaslian tekniknya. Ini bukan sekadar urusan batu, tapi soal menjaga warisan budaya yang melintasi batas negara dan zaman.
Pertemuan Kedua: Lisboa dan Sintra
Berpuluh tahun kemudian, saya akhirnya tiba di tanah asal calcada portuguesa-Lisboa di Portugal. Rasanya seperti bertemu kembali dengan sesuatu yang lama mengendap di bawah sadar. Nama Lisboa sendiri saya lebih suka dibandingkan versi Inggris Lisbon. maklum pertama kali saya ingat dari nama Casino Lisboa di Makau.
Di jantung Lisboa, di Praca do Rossio, saya berdiri di atas pola gelombang yang sama seperti yang saya injak di Makau. Tapi kali ini, saya tahu sejarahnya. Apalagi pemandu wisata juga banyak berkisah. Saya tahu kenapa batu itu hitam dan putih, kenapa bentuknya seperti gelombang, dan siapa yang menyusunnya. Saya menyusuri Avenida da Liberdade, melihat motif bunga dan daun di trotoar. Di Baixa dan Chiado, pola geometris menghiasi jalan-jalan sempit yang penuh toko buku dan kafe.
Lalu saya pergi ke Belm, kawasan sejarah di pinggir Sungai Tagus. Di Praca do Comrcio, lantainya dihiasi Calcada dengan gambar kapal, kompas, dan motif maritim lainnya. Di sinilah saya benar-benar merasa calcada bukan hanya bagian dari lanskap, tapi cerminan jiwa bangsa Portugis yang merupakan pelaut ulung penjelajah tujuh samudra.