Suatu hari, dalam satu ruang pengajian yang sederhana, saya bertanya, "Jika usia Nabi Muhammad SAW adalah 63 tahun, maka umur kita tinggal berapa?"
Pertanyaan ini bukan tentang statistik usia, bukan pula ancaman. Tapi tentang sesuatu yang sering kita lupakan: waktu. Ia tidak berjalan, ia melesat. Seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya, ia tak akan kembali.
Kita hidup dalam dunia yang ramai memperingati tahun baru dengan gegap gempita. Tapi kita sering lupa bahwa pergantian tahun bukan hanya tentang pesta dan kembang api. Ia juga adalah pengingat: umur kita sedang menuju ujung. Dan tak seorang pun tahu, kapan gerbong hidupnya akan mencapai stasiun terakhir.
Malam itu, malam 1 Muharram 1447 H, saya duduk di Masjid Nur Arafah, Muara Enim. Tak ada panggung besar. Tak ada mikrofon yang memekakkan telinga. Hanya ada jamaah yang tulus, suara rebana yang lirih, dan harum wewangian sederhana khas majelis taklim. Di antara mereka, saya berkata pelan, "Jika tahun bertambah, maka umur justru berkurang."
Dalam tradisi para arif, malam seperti ini adalah waktu yang tepat untuk satu hal: tajdd an-niyyah. Memperbarui niat.
Niat adalah Ruh dari Amal
Imam al-Ghazali pernah berkata bahwa amal tanpa niat ibarat tubuh tanpa ruh. Ia bergerak, tapi mati. Kita bisa bersedekah, shalat, berpuasa, berdakwah. Tapi jika niatnya bergeser---dari Allah kepada ego, dari ikhlas kepada riya'---maka amal-amal itu hanya jadi aktivitas kosong. Sebuah aktivitas fisik yang tidak punya gema spiritual.
Rasulullah SAW sudah memperingatkan, "Innamal a'maalu bin-niyyaat..." Sesungguhnya amal tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya.
Bagi saya, ini bukan hanya hadis fikih. Ini adalah fondasi kehidupan spiritual. Karena dalam hidup, yang menentukan bukan hanya apa yang kita lakukan, tapi untuk siapa kita melakukannya.
Amal yang Kehilangan Jiwa
Kita hidup dalam zaman yang ironis. Amal saleh menjamur, tapi kehilangan ruh. Shalat jadi rutinitas mekanik. Puasa jadi budaya. Sedekah jadi konten. Dakwah jadi branding. Amal yang baik tetap dilakukan, tapi kehilangan kesadaran mengapa ia dilakukan.