Atau sebagian kita juga masih sering menjawab : nanti masih  muda, masih banyak keinginan yang belum tercapai, atau : nanti saja kalau sudah tua. Begitulah deretan alasan yang sering kali membuat kita lebih memilih menunda kebaikan, dari pada segera kembali kepada jalan kebaikan. Akhirnya, kita terbiar dalam kubangan salah dan dosa. Padahal tanpa sadar, kesalahan dan dosa yang dilakukan oleh sebagian kita bukan hanya akan membahayakan orang lain, tetapi juga membahayakan diri sendiri.
Contoh kecil saja : bila di sebuah desa ada sekelompok warga yang berbuat dosa. Sebut saja berjudi, minuman keras, atau berzina. Atau yang terkecil membuang sampah sembarangan. Satu persatu sampah bertumpuk dan menutup selokan air. Sementara, diantara sebagian warga sudah mengingatkan agar kita membuang sampah pada tempatnya. Namun semua itu tak dihiraukan, sebagaimana Haidar kepada Walikota.
Pada saat hujan tiba, selokan tersumbat. Banjir melanda. Bukan hanya rumah warga sekitar, tetapi juga rumah kita terendam banjir. Mengapa itu terjadi? Karena kita mengabaikan kebaikan yang disampaikan orang lain kepada kita : untuk membuang sampah pada tempatnya.
Pun demikian halnya dengan penyakit sosial lainnya. Mungkin sebagian kita bisa mengatakan : berjudi dengan uang sendiri. Berzina tidak menganggu isteri orang. Berbuat maksiat tidak tidak mengajak orang lain. Benar memang.
Judi memang uang sendiri. Berzina mungkin tidak menganggu isteri orang. Berbuat dosa dan maksiat tidak mengajak orang lain dan tetangga. Tetapi ketika Allah Swt "bertindak" dengan  mengirim angin topan, banjir, badai, Tsunami dan sejenisnya, yang terkena akibat bukan hanya orang yang berbuat maksiat, tetapi semua orang di wilayah itu terkena imbasnya. Seperti kata pepatah ; tak ikut makan nangka, tetapi orang lain ikut kena getahnya.
Begitulah, satu pelajaran dalam kisah Rumi--mengapa Walikota itu demikian gencar menegur Haidar agar segera memotong pohon berduri di tengah jalan. Pohon berduri, ibarat perbuatan salah dan dosa, maksiat dan kemunkaran. Semakin kita menumpuk dosa dan kemungkaran, semakin kita banyak berbuat salah, maka semakin sulit pula kita akan kembali pada kebaikan, meskipun dosa yang diperbuat itu bukan hanya membahayakan orang lain, tetapi sebenarnya juga membahayakan diri sendiri.
Kisah Jalaluddin Rumi tentang Haidar, juga perlu disampaikan kepada anak-anak kita, para santri, anak didik di sekolah dan kepada siapa saja yang saat ini masih menjadi pembelajar. Pesannya : tak ada alasan menunda kebaikan, selagi umur dan waktu masih ada, apalagi anak didik masih menempuh proses belajar mengajar di berbagai lembaga pendidikan.
Tak harus menunda kebaikan. Sebab semakin kita menunda, semakin malas pula kita belajar tentang kebaikan. Dengan sendirinya, kita juga akan semakin malas. Kita pun akan semakin tertinggal jauh dengan orang lain, yang sudah lebih dulu  menjalani kebaikan.
Pada saat kita menyadari kejahatan, dosa dan kemungkaran kita jauh dari kebaikan yang orang lain punya, maka kemalasan kita akan terus bertambah-tambah. Karena yang terlintas alam pikiran kita : tidak mungkin kita akan bisa mengejarnya lagi. Kian malas! kian malas dan akan terus begitu.
Seperti contoh anak-anak santri yang malas mengafal Al-quran, atau di sekolah yang malas belajar. Semakin dia jauh tertinggal dengan teman-teman lain yang rajin belajar dan menghafal Al-Quran, maka kian malas pula belajar dan melanjutkan hafalannya.
Maka pesannya : jangan pernah menunda kebaikan, selagi kita masih ada waktu dan kesempatan, supaya kita tak bernasib sebagaimana Haidar dalam Kisah Jalaluddin Rumi -- yang tak kuasa lagi memotong duri sekalipun, karena dirinya sudah renta.**