Di sebuah republik tropis yang gemar berkeringat, baik karena terik mentari maupun karena ambisi podium, olahraga adalah agama baru. Stadion adalah kiblatnya, selebrasi gol adalah dzikirnya, dan sepakbola adalah Tuhan utamanya. Cabor-cabor lain? Hanya bidat yang disambut dengan kasak-kusuk dan jempol ke bawah.
Lindswell Kwok pernah menari untuk negeri ini---dengan tubuh seanggun doa dan dedikasi sekeras batu. Ia mempersembahkan emas dalam sunyi, bukan lewat teriakan atau nyanyian stadion. Tapi ketika matras dilipat dan sorot kamera padam, negeri ini segera amnesia. Bonus yang dijanjikan menjadi semacam legenda urban: katanya ada, tapi tak pernah terlihat nyata.
Sementara itu, tim sepakbola yang baru saja keok 6-0 dari Jepang disambut bak pahlawan. Mereka pulang dengan Rolex berkilau, seakan emas itu bisa ditakar dari kilap jam tangan, bukan dari keringat dan air mata. Negeri ini punya hukum fisika baru: semakin besar kekalahan, semakin mahal hadiahnya.
Menpora---yang lebih sering kita dengar komentarnya soal lini tengah---tampaknya tak sempat menyapa atlet loncat indah atau judo. Ia terlalu sibuk mengunggah selfie bersama striker. Kalau ditanya siapa penyumbang medali dari cabor anggar, mungkin ia akan menyangka itu nama snack baru.
Bonus untuk atlet non-sepakbola lebih sering datang seperti angin: tak terlihat, tak terdengar, tapi dijanjikan akan tiba. Kalau pun datang, seringkali harus dicicil. Negeri ini memperlakukan juara seperti kredit motor: panjang, berliku, dan rawan penarikan paksa.
Sementara para pesepakbola diarak bak nabi akhir zaman, atlet panahan yang membawa pulang emas hanya disambut tenda plastik dan MC dadakan. Media pun ikut latah: halaman depan untuk bola, halaman belakang untuk berita kriminal, dan atlet wushu diselipkan di kolom horoskop.
Negeri ini pandai menciptakan simbol. Rolex untuk patriotisme, emoji api untuk semangat, dan postingan viral untuk nasionalisme. Tapi sayangnya, simbol tak bisa membayar kontrakan. Patriotisme tak bisa ditukar dengan sepiring nasi. Dan nasionalisme yang hanya hidup di Instagram, adalah nasionalisme semu.
Yang tragis, kekalahan 6-0 kemarin bukanlah aib, tapi tontonan. "Masih muda," kata pengamat. "Pengalaman mahal," kata fans. Tapi ketika atlet cabor lain gagal, mereka dicaci bak pelajar yang tak hafal Pancasila. Standar kita elastis---tergantung jumlah follower.
Cinta kita pada sepakbola telah berubah menjadi kultus. Kita menyembahnya, memaafkannya, dan menyiraminya dengan anggaran yang tak pernah kering. Sementara cabor lain hanya dapat remah APBN. Kalau sepakbola adalah pesta, maka cabor lain adalah tukang cuci piring yang diusir sebelum makan malam.
Padahal medali itu buta---ia tak peduli suara penonton. Ia hanya tahu siapa yang paling gigih, paling sabar, paling setia pada proses. Tapi negeri ini lebih suka panggung daripada proses. Lebih suka sorak-sorai daripada kesunyian latihan pagi.
Sepakbola memang punya daya magis. Tapi negeri yang adil adalah negeri yang tak menutup mata pada juara-juara yang sunyi. Negeri yang besar bukan negeri yang hanya menyoroti striker, tapi juga memberi ruang bagi lifter, pelari, pesilat, dan pemanah. Juara bukan hanya yang viral, tapi juga yang bertahan meski dilupakan.
Bila sistem ini terus dibiarkan, jangan heran bila kelak, atlet terbaik kita berdiri di podium asing, dengan bendera asing, dan lagu kebangsaan asing---karena negeri sendiri terlalu sibuk memberi Rolex pada mereka yang kalah.
Negeri sepakbola, mari belajar mencintai dengan adil. Karena di balik medali yang tak trending, ada merah putih yang tetap berkibar. Hanya saja, negeri ini lebih suka warna emas jam tangan daripada kilau peluh juara sejati.
Dan kalau masih belum paham: di negeri ini, kekalahan sepakbola lebih berharga dari kemenangan cabang lain. Sungguh, satire ini sudah bukan hiperbola---ini realita yang terlalu absurd untuk ditertawakan, terlalu getir untuk dibiarkan.
Mungkin yang perlu kita lakukan bukan hanya merombak sistem, tapi juga membongkar cara pikir. Tentang bagaimana kita menilai keberhasilan: dari jumlah komentar di akun Instagram, atau dari tekad dan dedikasi di ruang latihan yang dingin?
Karena kalau negara ini terus percaya bahwa viral lebih penting dari juara, maka kita bukan sedang membangun semangat sportivitas, tapi sedang menulis epos olahraga dengan tinta keadilan yang bocor.
Dan ketika sejarah nanti mencatat siapa saja yang berjasa untuk olahraga bangsa, barangkali lembar itu akan penuh dengan nama yang bukan pesepakbola. Tapi seperti biasa, nama mereka akan diketik kecil, lalu dicetak miring, dan dilupakan saat ganti menteri dan pastinya ganti presiden selanjutnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI