Sepakbola memang punya daya magis. Tapi negeri yang adil adalah negeri yang tak menutup mata pada juara-juara yang sunyi. Negeri yang besar bukan negeri yang hanya menyoroti striker, tapi juga memberi ruang bagi lifter, pelari, pesilat, dan pemanah. Juara bukan hanya yang viral, tapi juga yang bertahan meski dilupakan.
Bila sistem ini terus dibiarkan, jangan heran bila kelak, atlet terbaik kita berdiri di podium asing, dengan bendera asing, dan lagu kebangsaan asing---karena negeri sendiri terlalu sibuk memberi Rolex pada mereka yang kalah.
Negeri sepakbola, mari belajar mencintai dengan adil. Karena di balik medali yang tak trending, ada merah putih yang tetap berkibar. Hanya saja, negeri ini lebih suka warna emas jam tangan daripada kilau peluh juara sejati.
Dan kalau masih belum paham: di negeri ini, kekalahan sepakbola lebih berharga dari kemenangan cabang lain. Sungguh, satire ini sudah bukan hiperbola---ini realita yang terlalu absurd untuk ditertawakan, terlalu getir untuk dibiarkan.
Mungkin yang perlu kita lakukan bukan hanya merombak sistem, tapi juga membongkar cara pikir. Tentang bagaimana kita menilai keberhasilan: dari jumlah komentar di akun Instagram, atau dari tekad dan dedikasi di ruang latihan yang dingin?
Karena kalau negara ini terus percaya bahwa viral lebih penting dari juara, maka kita bukan sedang membangun semangat sportivitas, tapi sedang menulis epos olahraga dengan tinta keadilan yang bocor.
Dan ketika sejarah nanti mencatat siapa saja yang berjasa untuk olahraga bangsa, barangkali lembar itu akan penuh dengan nama yang bukan pesepakbola. Tapi seperti biasa, nama mereka akan diketik kecil, lalu dicetak miring, dan dilupakan saat ganti menteri dan pastinya ganti presiden selanjutnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI