Mohon tunggu...
Taufik Alamsyah
Taufik Alamsyah Mohon Tunggu... Seorang tenaga pengajar

Mengajar adalah belajar

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Rolex di Tangan yang Salah, Juara di Dada yang Terlupa

11 Juni 2025   10:39 Diperbarui: 11 Juni 2025   12:54 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah republik tropis yang gemar berkeringat, baik karena terik mentari maupun karena ambisi podium, olahraga adalah agama baru. Stadion adalah kiblatnya, selebrasi gol adalah dzikirnya, dan sepakbola adalah Tuhan utamanya. Cabor-cabor lain? Hanya bidat yang disambut dengan kasak-kusuk dan jempol ke bawah.

Lindswell Kwok pernah menari untuk negeri ini---dengan tubuh seanggun doa dan dedikasi sekeras batu. Ia mempersembahkan emas dalam sunyi, bukan lewat teriakan atau nyanyian stadion. Tapi ketika matras dilipat dan sorot kamera padam, negeri ini segera amnesia. Bonus yang dijanjikan menjadi semacam legenda urban: katanya ada, tapi tak pernah terlihat nyata.

Sementara itu, tim sepakbola yang baru saja keok 6-0 dari Jepang disambut bak pahlawan. Mereka pulang dengan Rolex berkilau, seakan emas itu bisa ditakar dari kilap jam tangan, bukan dari keringat dan air mata. Negeri ini punya hukum fisika baru: semakin besar kekalahan, semakin mahal hadiahnya.

Menpora---yang lebih sering kita dengar komentarnya soal lini tengah---tampaknya tak sempat menyapa atlet loncat indah atau judo. Ia terlalu sibuk mengunggah selfie bersama striker. Kalau ditanya siapa penyumbang medali dari cabor anggar, mungkin ia akan menyangka itu nama snack baru.

Bonus untuk atlet non-sepakbola lebih sering datang seperti angin: tak terlihat, tak terdengar, tapi dijanjikan akan tiba. Kalau pun datang, seringkali harus dicicil. Negeri ini memperlakukan juara seperti kredit motor: panjang, berliku, dan rawan penarikan paksa.

Sementara para pesepakbola diarak bak nabi akhir zaman, atlet panahan yang membawa pulang emas hanya disambut tenda plastik dan MC dadakan. Media pun ikut latah: halaman depan untuk bola, halaman belakang untuk berita kriminal, dan atlet wushu diselipkan di kolom horoskop.

Negeri ini pandai menciptakan simbol. Rolex untuk patriotisme, emoji api untuk semangat, dan postingan viral untuk nasionalisme. Tapi sayangnya, simbol tak bisa membayar kontrakan. Patriotisme tak bisa ditukar dengan sepiring nasi. Dan nasionalisme yang hanya hidup di Instagram, adalah nasionalisme semu.

Yang tragis, kekalahan 6-0 kemarin bukanlah aib, tapi tontonan. "Masih muda," kata pengamat. "Pengalaman mahal," kata fans. Tapi ketika atlet cabor lain gagal, mereka dicaci bak pelajar yang tak hafal Pancasila. Standar kita elastis---tergantung jumlah follower.

Cinta kita pada sepakbola telah berubah menjadi kultus. Kita menyembahnya, memaafkannya, dan menyiraminya dengan anggaran yang tak pernah kering. Sementara cabor lain hanya dapat remah APBN. Kalau sepakbola adalah pesta, maka cabor lain adalah tukang cuci piring yang diusir sebelum makan malam.

Padahal medali itu buta---ia tak peduli suara penonton. Ia hanya tahu siapa yang paling gigih, paling sabar, paling setia pada proses. Tapi negeri ini lebih suka panggung daripada proses. Lebih suka sorak-sorai daripada kesunyian latihan pagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun