Mohon tunggu...
Taufik Ikhsan
Taufik Ikhsan Mohon Tunggu... Guru - Ras Manusia

Art-enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"A Walk to Indiana" Bagian 1, Makanan

28 Oktober 2019   08:55 Diperbarui: 28 Oktober 2019   12:25 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Img src: koleksi pribadi

Mungkin tulisan ini terlalu dini atau prematur untuk didokumentasikan, direkam, dan menjadi jejak digital untuk saya. Namun, jika pengetahuan bisa ditunda untuk disampaikan, tapi tidak dengan perasaan. Karena itu, dalam tulisan ini, perasaanlah yang memilih kata, frasa, hingga paragraf sampai menjadi tulisan yang utuh. 

Jadi, tulisan ini sepenuhnya adalah perasaan saya, yang mungkin bisa salah. Karena dari dulu juga perasaan saya bilang kalau saya ganteng, walau kenyataan sering bertolak belakang! :D

Tulisan dengan topik ini pasti tidak sulit ditemukan. Kamu bisa cari di internet dan menemukan ratusan cerita historikal dan fenomenal tentang masa transisi ini. Iya! Transisi para pelajar Indonesia di tahun pertamanya! 

Banyak perjuangan yang bisa kita rasakan hingga kita seperti berada didalamnya. Merasakan dimensi emosi yang beragam, pasang surut perjuangan, hingga keberhasilan haqiqi yang dicapai dengan keringat dan pengorbanan. 

Namun, tulisan ini saya tulis sedikit berbeda! Tulisan ini dari pandangan seorang suami dan ayah dari dua anak, yang mengenyam pendidikan hingga hanya doa yang bisa memeluk keluarganya.

Bagian 1: tentang makanan

Seperti judulnya, ini adalah bagian pertama. Salah satu tantang yang saya dan mungkin banyak pelajar hadapi ketika berada dalam masa transisi. Dan hal itu adalah makanan. 

Saya kadang berpikir, jika saya sering berkomunikasi dengan Bahasa Inggris, maka makanan kesukaan saya pun akan berganti. Saya selalu berkhayal, jika saya berbicara Bahasa Inggris terus menerus, maka lidah saya akan lebih suka dengan roti, salad, burger, sandwich, dan chips. 

Tapi ternyata saya salah! Saya harus berkontemplasi dengan air mata (lebay!) terlebih dulu ketika memakan sambal terasi terakhir yang saya bawa dari Indonesia.

Img src: ralphs.com
Img src: ralphs.com

Ketika berbelanja di supermarket terdekat, Kroger, saya melihat etalase yang menyajikan produk salad siap saji (gambarnya seperti di atas). Saya ambil satu dengan harapan saya akan menikmati makan sayuran mentah yang dicampur creamy ranch dressing sebagai perasa. 

Sebenernya engga jauh beda ketika makan lalapan mentah campur sambel matah. Cuma beda seh hah ajah! :D Tetiba di rumah, saya tidak menemukan kenikmatan yang tadi ada. 

Alhasil, produk yang tadinya ditakdirkan sebagai salad berubah nasib menjadi bala-bala! Gegara saya lihat tepung terigu nganggur di rak lemari. Saya namakan ini "the unfortunate fate of raw plant materials"! haha

Ketika di rumah, saya kadang menikmati waktu bersama istri dan anak sambil makan mie. Sudah jadi rahasia umum, jika makan mie memang paling enak kalau dimasakin. Nah, kalau disini sudah pasti saya harus beli, nyiapin, dan makan sendiri. 

Sebernya bukan masalah! Yang jadi masalah adalah rasa mie disini ternyata jauh beda dengan mie yang ada di Indonesia. Ibarat kata, rasa micin di Indomie disini masih level Rookie, sementara yang di Indonesia sudah Master.

Img src: koleksi pribadi
Img src: koleksi pribadi
Untuk merasakan sensasi micin sebenarnya, saya harus tambahkan garam, perasa, hingga saos dan sambal untuk mengembalikan cita rasa sesungguhnya! Okay, sebelum lanjut kita nyanyi dulu 'Hymne Anak Kost'!

"Dari sabang sampai merauke...
Dari Timor Sampai ke Talaud...
Indonesia Tanah airku...
Indomie... (appaaa??!!) Seleraku!"

"Indomie-indomie seleraku
Indomie dari dan bagi... (semuanya!!!)
... Indonesia!!!"

Okeh, makasih!

Sebagai orang Sunda, tentu lidah tidak bisa lepas dari cita rasa pedas. Ketika saya diundang untuk makan malam dengan salah satu keluarga U.S. di Kota Lincoln. Mereka mewanti-wanti saya ketika saya mengambil sambal untuk makanan! Sesendok, tidak ada rasa! "okay, careful!' kata mereka. 

Dua sendok, mereka bilang "are you sure?", masih tidak berasa pedasnya! Tiga sendok, "wow, seriously?" mereka terkejut, hilal pedasnya belum juga tampak! Sendok keempat tidak bisa terjadi, karena saya terlanjur malu. Beruntung, salah satu teman dari Indonesia memberikan salah satu legacy dapur nya kepada saya.

Img src: koleksi pribadi
Img src: koleksi pribadi
Alhasil, saya bisa nge-rendos sambel hijo sendiri! Walaupun ternyata, cengek (cabai hijau) disini cukup kering, dan harus tambahkan air untuk benar-benar menjadi sambel goang (jenis sambel dari tanah pasundan). Untungnya, saya disini bersama 10 keluarga dari Indonesia lainnya. 

Dan yang paling asyik adalah ketika ada acara bersama. Kegiatan seperti ini menolong sekali, karena biasanya selalu ada saja gorengan, rujak, cireng, dan (tak lupa) sambel!

Saya selalu berharap, disuatu pagi , saya bisa mendengar lagi pedagang berteriak "bubur, bubur! Nasi kuning! Nasi uduk". Iya, rindu sekali!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun