Mohon tunggu...
Andi Taufan Tiro
Andi Taufan Tiro Mohon Tunggu...

Anggota DPR RI, Fraksi Partai Amanat Nasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ricuh Paripurna DPR RI, Perspektif Dari Dalam

3 Oktober 2014   03:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:35 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1412253850985381960

Dalam ilmu Antropologi, dikenal istilah perspektif emic. Yakni upaya melihat persoalan dari sisi terdalam para pelaku. Cara ini, membantu memahami sebuah persoalan dengan intim. Melepaskan prasangka. Terbebas dari stigma, stereotipe, dan sentimen berlebihan.

Sebagai konsep akademik, konsep perspektif emic memang ketat. Tetapi sebagai sebuah istilah populer, maka bisa digunakan secara praktis. Pun untuk menalar peristiwa Rabu lalu, saat terjadi kegaduhan dalam Sidang Paripurna DPR RI (1/09).

Jelas kejadian itu meletupkan (lagi-lagi) emosi publik. Unsur-unsur dramatis tersedia cukup (ada Anggota DPR yang berteriak-teriak, saling tuding, bahkan saling dorong). Ekspose media bergulir tanpa henti. Segala komentar dan respon mengalir deras. Terlebih, kericuhan itu seolah melawan harapan banyak orang, agar tersaji dinamika parlemen yang berbobot dan santun.

Tetapi apakah tafsir tunggal atas ribut-ribut paripurna DPR itu harus kita turuti begitu saja? Seolah hanya ada satu opini yang sahih, bahwa DPR tidak santun, tidak etis, berlebihan, dan vulgar. Bahasa negatif juga padat dengan lontaran tudingan. Seperti sejumlah pakar yang menyebut "itu adalah bagian dari politik balas dendam". Intinya: tudingan sinis tanpa ampun.

Padahal ada alternatif informasi yang lebih mendalam, dan bisa membantu memberi penjelasan pada khalayak. Tetapi media mainstream kurang memberi porsi pada hal ini. Saya, sebagai bagian dari Anggota DPR RI yang baru saja dilantik, tentu layak mengerek informasi alternatif. Seraya berharap ini menjadi tawaran perspektif baru, yaitu perspektif emic.

Pertama, tersedia fakta tanding, bahwa titik pangkal persoalan bukan konfrontasi politik terbuka yang bersifat hitam putih. Melainkan murni respon atas perilaku orang-orang tertentu, yang dari sisi kepatutan, bertindak tidak sopan. Dari sisi ini, apa-apa yang terjadi tentu bukan rekayasa dan disengaja.

Kedua, dari para pihak yang ada di ruang paripurna (fraksi-fraksi), jauh lebih banyak mengambil posisi khidmat, menghormati proses, dan menganggap itu dinamika biasa. Maksudnya bukan toleran terhadap aksi tak patut, melainkan tak ingin menjadikan suasana lebih kisruh. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan pilihan "diam dan menunggu" itu. Paling dominan, tentu adalah menjaga agar forum sidang masih layak disebut terhormat.

Ketiga, ada interaksi antara sesama anggota. Paling tidak oborolan-obrolan kecil, saling mengingatkan untuk tak terbawa emosi. Atau sekedar bertukar informasi seputar faktor-faktor yang menyebabkan forum sidang sedemikian panas. Proses interaksi ini tak cuma sesama mitra koalisi, melainkan dengan fraksi yang mengambil garis politik berbeda. Secara pribadi, saya pun melakukan itu. Misalnya berdiskusi kecil dan saling menurunkan tensi suasana dengan rekan-rekan politisi dari koalisi Indonesia Hebat.

Poin-poin yang saya sebutkan memang tidak sepenuhnya membantah persepsi publik yang sudah terbentuk. Tetapi paling tidak memberikan perspektif dari dalam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun