Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mencoba Meletakkan Kegelisahan di Tempat yang Tepat

2 Februari 2021   15:49 Diperbarui: 2 Februari 2021   16:10 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seringkali pemandangan itu membuat saya muak. Antara melihat mereka hobi menjilat ludah sendiri, atau saya yang justru lengah kepada diri sendiri karena telah merasa muak. Terlebih jika yang menjadi titik permasalahan adalah identitas diri, hal ini justru sering menjadi blunder karena nampak ketidaktepatan nilai yang diterapkan antara kata dan laku. Jadi, akhirnya terlihat pemandangan menjatuhkan diri sendiri.

Di sisi lain, ketika mendapati hal seperti itu, muncul pekerjaan rumah bagi diri yang mengetahuinya. Setidaknya ada 2 jalan, pertama mengingatkan sembari menceritakan buruknya orang lain dan semakin menjatuhkannya; atau kedua, menahan diri untuk menjaga harga diri dan martabatnya sembari menunggu momen yang tepat untuk masuk mengingatkannya.

Manusia sering membanggakan telah menghilangkan keakuannya, akan tetapi di saat yang bersamaan enggan kehilangan identitasnya. Manusia sering mengaku sudah tidak peduli siapa dirinya, namun sering membangga-banggakan masa lalunya. Atau yang paling nggemesi, orang semakin yang semakin pintar akan bermain dengan bahasa retorika untuk menunjukkan keakuannya, sedangkan meraka sendiri tak sadar ternyata telah ingkar dengan slogan "menang tanpo ngasorake."

Salah seorang guru pernah mengajarkan kalau kita sering pintar-pintar membuat pertanyaan bahkan dengan diri sendiri. Lantas, saya sering melatih diri dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang saya ajukan kepada diri sendiri. Misalnya, "saya ini seorang manusia atau seorang hamba? Lebih senang diakui atau mengakui? Banyak berbicara atau banyak mendengarkan? Memilih menyakiti atau disakiti? Mengerti atau dimengerti?" dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa disimulasikan.

Kita sebagai manusia pun tidak akan pernah lepas dari "sedulur papat", yakni amarah atau nafsu, kesombongan, kerakusan (jasad), dan suka berlebihan sekalipun dalam hal kebaikan (batin). Semua memiliki bekal yang sama dan porsi keadilan yang sesuai. Jadi, berhati-hatilah mengaku-aku sebagai bagian dari sebuah identitas kalau pada akhirnya hanya akan merusak citra identitas itu sendiri. Kalau akhirnya hanya akan merasa menjadi manusia yang paling banyak mendapat rahmat.

Ketika saya merasa muak atau jengkel pun, banyak hitungan sebelum menentukan akselerasi untuk menempatkan rasa muak dan jengkel tersebut. Saya tidak akan menafikkan atau meniadakan perasaan yang diberikan tersebut. Karena keyakinan ini menyatakan bahwa rasa muak atau jengkel tersebut nantinya akan tetap membawa banyak pembelajaran. Oleh karena itu, rasa itu tetap milikku walaupun datang bukan dariku. Sama halnya seperti rasa-rasa negasi yang lain. Saya perlu banyak-banyak mendapatkannya agar diri ini juga berlatih untuk dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Sekalipun itu semua merupakan sampah perasaan, saya akan berusaha untuk menaruhnya dengan baik agar bisa bermanfaat di kemudian hari meskipun masih membutuhkan banyak proses daur ulang olah kebatinan.

Toh, sekalipun rasa muak atau jengkel itu datang, bersamaan dengan itu pula datang 2 pilihan. Memaafkan atau membalas. Kanjeng Nabi pernah mengajarkan kalau memaafkan itu merupakan opsi yang memuliakan, terlebih jika diri kita lebih kuat dibandingkan dengan mereka. Namun, apabila mereka lebih kuat, baik karena kekuatan jasadnya atau sudah dimaafkan berapa kali pun tetap tidak merasa bahwa dirinya salah, maka kita juga akan mengalami rasa muak atau jengkel tersebut.

Lantas, kita juga telah diberikan contoh untuk membalas perbuatan tersebut. Bukan dengan diri kita dengan segala panca indera yang dititipkan, akan tetapi melalui permohonan bahwa diri ini tak kuasa untuk membalas segala daya yang telah menimpa hamba, oleh karena itu akan kuserahkan pembalasan itu kepada Engkau, Sang Maha Pemilik Hamba.

Meskipun untuk memilih membalas, hati selalu bergejolak untuk melampiaskannya. Akhirnya, sebesar apapun muak dan jengkel itu mendera. Saya selalu lebih memilih untuk diberikan kekuatan yang lebih dalam kesabaran menahan diri. Bukan untuk membalasnya, kecuali hanya untuk memperbesar kapasitas hati agar dapat menampung segala sakit-sakit yang berceceran tidak pada tempatnya. Bukankah tiada daya dan kekuatan yang terjadi tanpa ijin-Mu?

"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan." (An-Nahl: 126-127)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun