Akan tetapi, kebenaran yang ditemukan manusia pada satu waktu tidak berlaku abadi. Mas Sabrang juga pernah menegaskan bahwa kebenaran pada saat ini sangat mungkin menjadi sebuah kesalahan di masa yang akan datang. Akan tetapi, sikap maido sendiri merupakan suatu sikap yang dibutuhkan ketika kita hidup penuh dengan pencarian. Kecuali jika diri terjebak dalam sikap "merasa". Karena dalam tetes Mbah Nun, mereka yang tidak mengerti adalah mereka yang merasa menang ketika kalah, dan merasa mulia ketika diri sedang hina.

Beruntung, acara pada malam hari itu kehadiran Pak Ida, salah seorang seniman senior dan juga seorang pengajar, yang sampai sekarang beliau memiliki prinsip untuk tidak memiliki handphone. Jadi, pertemuan Majelis rutinan dengan Pak Ida menjadi sarat hikmah. Selain memberikan penampilan single-nya yang dibawakan dengan gaya yang nyentrik. Kehadirannya mampu menghidupkan suasana sinau pada malam itu.
Pada sesi kedua Mang Yani mengajak semua yang hadir untuk bersama-sama mencari tahu alur sikap hingga akhirnya menjadi Maido, hingga membuatnya menjadi sesuatu yang hasanah. Menurut Mas Taufan, orang pada akhirnya maido apabila keamanan atau kebenaran yang dipegang terusik oleh suatu informasi yang baru sehingga membuat standar kedamaiannya berubah.
Pak Sholeh kemudian menambahi akan pentingnya sebuah ilmu ketika akan maido. Sesuatu yang akan diucapkan setidaknya harus memiliki dasar atau bukti yang kuat sebelum diargumentasikan. Pak Sholeh juga menukil salah satu ayat tentang anjuran untuk mendebat dengan cara yang baik (dalam surat An-Nahl: 125) berbunyi, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."
Secara tidak langsung, kebiasaan kita menggunakan media sosial adalah melatih kita untuk kritik terhadap sesuatu. Hal tersebut bagus ketika membangun. Tapi, nyatanya justru kebiasaan tersebut membuat kita untuk mudah melampiaskan sesuatu atas suatu informasi yang tidak sepaham dengan pemikiran diri. Bahkan, kata-kata yang tercitra di media sosial sangat bias dan tidak bisa mewakilkan rasa atau mimik si pengucap, sehingga yang ada hanya kita sering mudah mengambil prasangka-prasangka yang negatif.
Lalu, mengapa kita banyak melihat orang hebat dan pintar saling melontarkan argumentasi yang berlawanan jalan pemikirannya? Tidakkah mereka ketika mengatakan sesuatu tidak berlandaskan bukti atau data yang menurutnya akurat?
Terkait bukti atau ilmu, Mas Taufan memberikan respon bahwa ilmu pun bisa menjadi sesuatu yang menghambat sesuatu. Mas Taufan kemudian mengajukan pertanyaan kepada sedulur yang hadir, "mengapa Nabi Musa as. ketika berguru kepada Nabi Khidir as. tidak lulus?" Dengan memberikan cerita tentang pengalamannya bermaiyah beberapa waktu lalu, menurut Kyai Muzzamil, Nabi Musa as. terlalu bersikukuh memegang ilmunya --bahwa membunuh anak kecil itu salah, salah satunya--- dan harus menabrak syarat yang telah diberikan oleh Nabi Khidir as.
Contoh lain adalah ketika ada seorang Guru bijak dengan kedua muridnya. Ketika muridnya diberikan pertanyaan 3 x 7, murid pandai mengatakan hasilnya, 21. Murid bodoh bersikukuh, hasilnya 27. Murid bodoh menantang murid pandai supaya gurunya menilai siapa yang benar diantara mereka.
Murid bodoh mengatakan, "Jika saya yang benar bahwa 3 x 7 adalah 27, maka kamu harus mau dicambuk 10 kali oleh Guru. Tetapi kalau kamu yang benar (3 x 7 = 21), maka saya bersedia untuk memenggal kepala saya sendiri."
"Katakan guru, mana yang benar?" Tanya si bodoh. Ternyata guru memvonis cambuk 10x bagi murid yang pandai, yaitu yang menjawab 21.