Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kata-katamu Adalah Kata-Ku

17 Januari 2020   16:13 Diperbarui: 17 Januari 2020   16:16 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Segala fenomena keindahan, pertempuran, ataupun kebusukan merupakan hal yang biasa. Untuk menjadi keindahan karena kita telah memaknainya sebagai sesuatu yang menyenangkan. Melihat pertempuran karena kita telah melihatnya sebagai sebuah kehancuran. Dan menjadi aroma bususk karena kita telahmencium hawa yang tidak sesuai dengan selera indera kita. Semua makna bisa dimaknai karena sesuatu hal yang telah terjadi. Dan itu tidak akan bisa terulang.

Kita hanya bisa menjadikannya sebagi sebuah pelajaran yang tersirat. Mungkin satu dari sumber ayat yang tidak difirmankan salah satunya berasal dari sesuatu yang telah terjadi. Melihat pola, alur, maupun siklus kehidupan dan menemukan titik-titik kesinambungan antara satu dengan yang lain. Semua sudah memiliki kemampuan bekal untuk mengarungi cakrawala ilmu yang tak berbatas. Semua sudah dibekali dengan hardware buku panduan melalui kitab-kitab, maupun dengan software yang sangat canggih merujuk pada nasihat "mintalah fatwa pada hatimu". Dengan catatan, kamu sadar akan 'keutamaan' segumpal daging tersebut.

Lihat, senja yang begitu indah, kini mulai kehilangan keindahannya akibat kata-kata. Malam yang begitu banyak menyimpan rahasia yang seharusnya tak dilantangkan, kini mulai riuh dengan kata-kata. Cinta yang menjadi bahan bakar utama kehidupan manusia, telah ternodai oleh kata-kata yang bahkan tak mengerti apa itu rindu. Bahkan, cahaya yang berlapis-lapis itu, semakin asing karena ketidakmampuan kata-kata untuk menyingkapnya.

Kata-kata adalah sesuatu yang sanggup manusia ciptakan dalam rentang perjalanannya setelah menemukan makna. Namun, kata-kata tidak digunakan semestinya. Tidak untuk saling ber-tahadduts bin ni'mah, melainkan hanya dipergunakan untuk kepentingannya dalam memperkuat argumen kebenarannya yang masih sarat akan sebuah kepentingan.

Baik, anggap saja semua merupakan sebuah proses. Namun proses seperti apa? Lantas apabila kita mengetahui sebuah proses akan sesuatu, apa yang akan kita perbuat? Hanya melihatnya atau melakukan intimidasi?

Banyak kata-kata berterbangan di dalam angan yang siap untuk ditembakkan ke arah-arah yang sekiranya ingin sekali hati ini menundukkan. Sebuah peribahasa "mulutmu adalah senjatamu" memang salah satu andalan utama dalam permainan kehidupan yang katanya hanya sendau gurau ini. Semua gurauan hanyalah salah satunya berasal dari permainan kata-kata. Yang tidak sadar membuat manusia rela digiring kesana-kemari mengikuti kemana 'Si Tuan Kata' ini menciptakan arah melalui huruf-huruf yang disusunnya.

Satu yang mesti kita pahami adalah kita hidup di zaman yang serba mudah untuk mendapatkan ilmu. Sehingga, kita sering tidak sadar bahwa terjadi banyak sekali chaos tentang pemaknaan yang dianggap kebenaran, hingga akhirnya mereka mengelompokkan diri ke dalam suatu identitas tertentu yang mencitrakan dirinya. Semakin banyaknya kelompok, secara tidak langsung saling berkompetisi untuk melakukan yang terbaik demi memperolah masa sebanyak-banyaknya. Kuantitas masa sering dijadikan tolak ukur untuk mendapatkan kredibilitas tertentu.

Tetapi akibatnya, gesekan-gesekan sering terjadi. Percikan api tetap saja tak bisa dihindari sebagai akibat dari laju yang bersamaan. Sehingga pertempuran pun sering terjadi, namun tak dilakukan secara lantang. Mereka saling menjatuhkan bukan dengan berhadap-hadapan satu sama lain menggunakan pedang atau senjata berat lainnya. Tetapi dengan senjata-kata-kata dalam wujud bentuk apapun. Hingga di zaman sekarang, mana musuh mana kawan sangat sulit untuk dibedakan karena banyaknya kemunafikan.

Kita hidup ibarat di kebun yang penuh dengan buah-buahan karena buah ilmu yang bisa kita akses dimana saja dan kapan saja kita membutuhkannya. Akan tetapi, keberangkatan kita sering salah niat, atau pada akhirnya kita terlalu jauh tersesat hingga kebingungan mencari jalan untuk kembali pulang. Kita hanya terseret hasrat untuk menuruti nafsu keinginan daripada menyatukan kehendak hingga frekuensi dengan kehendak Sang Hayyu.

Sesungguhnya kita hanya tidak paham dan tidak akan pernah paham. Dia juga sanggup memposisikan diriNya kedalam sebuah permainan kata dengan menjadi Al-Irhabiyyin, 'Sang Teroris Kata'. Sedangkan sepintar-pintar Manusia? Lalu Dia hanya berkata, "padahal semua kata-katamu, adalah kata-Ku!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun