Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kesadaran Evolusi dalam Muamalah

25 Desember 2019   11:27 Diperbarui: 28 Desember 2019   02:25 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hanya saja menurut Pak Dadik, seorang sastrawan sekaligus ketua Lesbumi di derahnya ini mengungkapkan bahwasanya bakat itu terus diasah dan berkembang. Sejalan dengan kondisi zaman yang terus mengembangkan kompleksitas permasalahannya. "Apa menariknya jika kita mengetahui bakat kita? Jika hal itu pada akhirnya hanya akan menjadikan diri stagnant."

Beda lagi dengan pendapat yang diuraikan oleh Mas Arif Sulaiman, bahwa bakat hanya andil 1%, selebihnya merupakan laku tirakat dan tapa brata dengan keuletan terus-menerus untuk berusaha untuk 'bisa'. Kerana menurut Mas Arif, keadaan sekarang ini tak jauh berbeda dengan apa yang di sekitar masyarakatnya ketika diberi informasi peluang usaha, yang cenderung memilih skema bukti -- percaya -- bertanya cara -- baru memulai. Bukti kesuksesan lebih diutamakan daripada proses perjuangan membangun atau memulainya.

Baru separuh lahap, siomay disantap nikmat oleh teman-teman, Pak Sholeh menyahut menambahkan tentang golongan manusia menurut Imam Al-Ghazali yakni permutasian cara mengerti dan kesadaran diri. Karena hal ini sangat berkaitan erat untuk mengetahui posisi pemahaman diri tentang suatu ilmu dan memudahkan pengaplikasiannya. Sehingga, harapannya kita tidak kebingungan menappakkan langkah kaki kedepan.

Sangat disayangkan ketika sebuah potensi diri dicari dengan mengedepankan pengetahuan dan konsep, kemudian meyakini bahwa akan menemukannya jika tidak dibarengi dengan sikap aplikatif, Mas Adi Suryo mengingatkan kita seyogyanya untuk tidak ragu-ragu untuk segera memulai berspekulasi untuk mencobanya.

dokpri
dokpri
Qahirun 'Ala Ibadihi

Gus Aushof yang kebetulan hadir malam itu tergelitik oleh tema dengan mencoba melontarkan asumsi cara pandang kepada jamaah, "zaman menciptakan muamalah, atau sebaliknya?" Jika dari mukadimah disampaikan bahwa dalam bermuamalah yang menjadi inti pembelajaran bukan mengenai baik dan tidak baik karena hal tersebut hanyalah ahwal dan bisa berubah menurut waktu dan tempat.


Lantas sanggupkan zaman menciptakan muamalah? Yang ada zaman seperti ini adalah hasil dan manifestasi dari cara mengaplikasikan ibadah muamalah itu sendiri.

Ironisnya, di lingkungan kita yang menjadi tolak ukur seseorang beragama dinilai dengan ibadah mahdhoh yang dilakukan. Bagaimana sembahyangnya, puasanya, cara berpakaiannya? Tentu hal tersebut tidak salah jika menilai dari apa yang tampak.

Tapi, Rasulullah menyampaikan ajaran bukan hanya tentang agama, akan tetapi lebih cenderung lebih banyak mengajarkan akhlak yang baik. Dan inilah tantangan bagi generasi pembaharu, bagaimana dirinya sanggup menjadi ruang bagi ragam budaya dan aliran yang sangat kompleks.

Kemudian merespon tentang Pilihan 3 Daur dari Mbah Nun, dengan sudut pandang bahwa dari tiga pilihan tersebut tidak harus dipilih salah satu, Gus Aushof mengilustrasikan bahwa Revolusi spiritual sebagai hilir, revolusi sosial sungainya, hingga sampai berhulu ke revolusi kultural.

Kita butuh kesadaran akan suatu kekuatan yang menggerakkan dengan menempatkan revolusi spiritual sebgai hilir. Bahkan, yang dibutuhkan sebenarnya apakah hanya sekedar revolusi. Ataukah kita membutuhkan evolusi?  Tentu saja semua akan kembali kepada pribadi masing-masing sesuai dengan jalan perjuangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun