Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjalanan Membuka Pintu yang "Absurd"

11 November 2019   16:19 Diperbarui: 11 November 2019   16:36 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia sudah sewajarnya melakukan apa yang semestinya menjalani sebagaimana peran yang diembannya, dalam satu tugas bersama, yaitu merawat dan menjaga semesta. Naik presiden, polisi, tentara, montir, pesepak-bola sampai para pekerja kasar merupakan berbagai peran yang terpampang jelas sebagai sebuah identitas atas informasi dari apa yang kita pandang.

Di sisi lain, ada sifat-sifat yang melekat dalam peran yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini bisa menjadi efek sebab ataupun akibat. Baik-buruk, benar-salah, kaya-miskin, jujur-pembohong, dan lain-lain, yang sudah pasti menggambarkan sifat-sifat yang dimiliki oleh tiap individu. Semua tentang sifat-sifat ini pasti bisa dirasakan lewat hati. Lalu apakah sesuatu yag kita sebut hati ini hanya sebatas segumpal daging atau ada gambaran lain terkait begitu banyak rasa yang perlu ditampung oleh hati?

Belum lagi bagaimana manusia mampu menjelaskan bagaimana otak manusia mampu memahami berbagai macam situasi ataupun keadaan, baik untuk berfikir, memahami, maupun beninovasi terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan kenyamanan maupun keamanan masing-masing manusia. Meskipun, kecenderungan cara berfikir ini nanti akan menentukan peran yang akan menjadi ciri dasarnya.

Sedangkan hati, sesuatu yang sering tergambar sebagai seonggok daging tersebut, memiliki kemampuan untuk mempengaruhi akal. Bahkan hati mampu mengakali akal itu sendiri. Padahal, sebagai akal yang notabene adalah ketua atas kelima indera manusia, hati seharusnya bukan menjadi suatu masalah yang berarti untuk ditundukkan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, hati-lah yang memiliki kendala atas akal.

Akal fikiran kita sangatlah terbatas, sekalipun mampu menampung samudera pengetahuan yang sangat luas. Semua yang dapat tertangkap oleh akal itulah wujud dari logika. Sementara di kehidupan ini, hidup tidak sebatas logika. Yang butuh rumusan nalar yang lebih kompleks untuk memahami sesuatu. Contohnya, Tuhan. Oleh karena itu, kita diperangkati sesuatu yang kita percayai diluar jangkuan akal/logika. Manusia sering menyebutnya sebagai iman.

Untuk memahami pikiran dan akal kita tidak hanya butuh logika maupun rasionalitas, namun manusia membutuhkan keimanan. Bagimana seonggok daging mampu menafsirkan segala rasa? Karena setiap individu pasti mengalami gejala-gejala yang membuat hati mereka selalu (entah mengapa) berlubang. Seperti terluka perasaannya oleh sesuatu hal. Iman merupakan bekal jika kita mau belajar. Berbeda dengan sabar, yang juga menjadi bekal untuk mengarungi perjalanan.

Peran hati disini merupakan menteri bagi diri kita sendiri, penghubung antara diri yang kita pahami dengan "entah". "Entah" karena kita butuh keimanan untuk mencoba memahaminya. Akan tetapi kita terlalu lebih sering untuk tidak memahaminya. Manusia terkadang malas untuk berfikir satu atau dua langkah lebih maju dari hati serta dengan ketidakjelasannya. Lhoh, bukannya tadi pikiran dikendalikan oleh hati? Bagimana caranya kita bisa berada di depannya?

Benar, tapi hanya dengan pikiran yang jernih itu pula manusia akan mengetuk pintu hatinya sendiri. Mencoba memaknai segala rasa yang bersumber dari dalam hati. Yang menguatkan, yang melemahkan, yang memalaskan, bahkan sampai yang menggairahkan. Lantas, bertemu dengan ketidaktepatan, ketidakpastian karena segala sifat baik sebab ataupun akibat tak lebih dari titik-tiktik yang saling berhubungan. Hingga memahami fakta tentang kebenaran dengan cara pandang keseimbangan.

Setelah banyak melihat keseimbangan, yang sesekali melukai hati manusia itu sendiri. Mereka akan membuka pintu selanjutnya, jiwa/an-nafs. Segala gairah dan keinginan semuanya berawal dari sini. Hijab-hijab mukasyafah terbentuk berlapis-lapis. Pertempuran panjang akan selalu membara, membentuk lubang-lubang yang menambah kegelapan. Kemurnian hanya angan-angan, karena ia akan selalu kembali membawa siasat kekuatan yang lebih besar.

Jalan untuk menuju ke alam ini pun mesti berbeda-beda. Setiap manusia yang mengalami peristiwa pun pasti memiliki petualangan dan pengalamannya tersendiri. Bahkan tiap keyakinan pasti memiliki istilahnya sendiri untuk memahami perjalanan untuk mencari kesejatian atau bahkan mungkin meleburkan/meniadakan diri. Apakah ini yang dinamakan pertempuran melawan diri sendiri? Yang pasti, meski manusia mati dan dihidupkan kembali, mati lalu hidup kembali. Apa yang bisa diambil ketika hidp ataupun mati? Manusia tidak mengingatnya. Apalagi pada kesempatan ini, ruh kita ditiupkan dalam keadaan fitrah.

Pun, kadang Tuhan masih terlalu sayang kepada hamba-hambaNya yang takut akan ketidaknikmatan, ketidaknyamanan, ke-ambyar-an, sebgai imbalan atas sapaan yang selalu diinginkan oleh para hambaNya. Maukah menikmati setiap adegan membuka pintu-pintu absurd (tidak jelas)?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun