Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Belajar "Menempatkan", Bukan "Membuang" pada Tempatnya!

18 Oktober 2019   16:01 Diperbarui: 22 Oktober 2019   07:34 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: unsplash.com/niko lienata

Kita hanya terlalu ceroboh untuk menentukan posisi diri, baik dari sisi cara pandang maupun pengungkapan. Saya tertarik dengan diskusi malam hari itu mengenai sampah. Bapak Eko Winardi sebagi narasumber sedikit memberikan cara pandang baru tentang cara memperlakukan sesuatu, termasuk sampah.

Bapak Eko Winardi sendiri merupakan seorang petani hayati. Bukan petani organik yang menurut beliau sama saja tetap melakukan hubungan yang tidak tepat kepada alam. Saya sendiri cukup tertarik dengan apa yang dilakukan beliau sebagai petani hayati, yang bagi saya pribadi merupakan istilah baru di bidang pertanian.

Petani hayati sendiri terlahir karena relasi atau hubungan manusia dengan alam yang tidak tepat, baik dengan tanahnya, tanamannya, cahaya, air, ataupun unsur-unsur yang lain. Bukankah mereka juga hidup? Bukankah semesta juga lebih tua dari kita? Jadi perlakuan para petani hayati ini sangatlah asih terhadap alam.

Dulu, beliau pernah bercocok tanam di Bali, namun sekarang beliau bertempat tinggal di Cianjur. Ketika ada salah seorang jamaah dari Indramayu bertanya tentang sampah, terutama sampah plastik yang semakin menggunung di daerahnya menjadi sulit untuk dijual. 

Apa yang menjadi jawaban beliau pun sangat sederhana, bukan sampah itu tidak bisa dialihkan kemana entah itu dijual atau diproses ulang. Akan tetapi, cara pandang manusia sendiri lah yang salah dalam menilai sampah.

Beliau kemudian memberi contoh bak sampah yang terletak di salah satu kampus tenama di kota pelajar. Dengan 5 perbedaan warna yang memberikan identitas masing-masing jenis sampah. 

Tapi nyatanya, setelah tempat sampah itu dibuka, apa yang seharusnya berisi plastik, justru tumbuh tunas. Sedangkan yang harusnya organik, malah berisi kaleng-kaleng bekas. Itu di lingkungan intelektualitas dan cendekiawan.

Bapak Eko Winardi kemudian menyimpulkan bahwa apa yang menjadi masalah bukan sampahnya, akan tetapi manusianya yang salah paham terhadap sampah. 

Di mana-mana tertulis "Buang"-lah sampah pada tempatnya. Tapi, apabila manusia memiliki kesadaran perlakuan tentang sampah bahwa sampah pun tidak perlu dibuang. Manusia hanya perlu meletakkan "apa yang dipandangnya sampah" di tempat yang seharusnya.

Sepele bukan?Dari membuang hanya digeser menjadi meletakkan/menaruh sesuatu di posisi yang tepat. Kita bisa mendapatkan dari sesuatu yang kita anggap tidak bernilai menjadi memiliki nilai dengan hal yang sering kita abaikan.

Kita semua di sini, yang mayoritas pemuda/pemudi sedang mendiskusikan sampah di saat waktu telah melebihi waktu tengah malam. Kita disini sering disalahsangkai sebuah pengajian, tapi nyatanya kita semua hanya sedang melakukan proses pembelajaran yang sering disebut sinau bareng. Semua bebas bertanya dan berekspresi.

Kemudian Mbah pun memintas, "Apakah ada di Kitab sebuah ayat atau kata yang bermakna membuang?" Salah seorang ahli kitab yang sangat dipercaya Simbah pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bukankah tidak ada yang diciptakan dengan sia-sia segala yang tercipta di dunia ini, termasuk sampah?"

Mbah melanjutkan. Berarti tidak sampah yang sia-sia di dunia ini. Bahkan, persepsi mengenai apa yang dimaknai sebagai sampah perlu dikaji kembali pemaknaannya. Agar tidak sembarangan mengotori akal pikiran, sebelum menjalar sampai ke hati.

Sampah bukan berarti dia tersisih, kalah, atau disingkirkan bahkan dibuang. Apa gunanya kita menang jika kita hanya melakukan penaklukan atau penindasan kepada yang lain? 

Jangan sampai kita tidak sadar kalau kita telah menyampahkan diri dengan menghilangkan kesejatian kita sebagai manusia yang lahir di pangkuan bumi pertiwi dengan mengikuti segala yang berada di luar diri. Jangan sampai kita kehilangan diri kita sendiri.

Dari sampah kita bisa sedikit belajar sikap kearifan. Menang dengan cara tidak ada yang kalah, atau sebisa mungkin pihak yang kalah jangan sampai mengetahui kalau dirinya kalah. Ataupun sebisa mungkin belajar juga mengenai rasa sakit. 

Jangan sampai orang yang menyakitimu mengetahui bahwa ia telah menyakitimu. Dan hanya ada satu anjuran untuk memerangi, yaitu dirimu sendiri dengan segala keangkuhannya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun