Setiap hari manusia-manusia itu bergerak mencari penghidupan. Mencoba menafsirkan semesta yang mengisyaratkan pertanda namun tak pernah aku mengerti. Bagaikan bayi yang tak pernah bisa mengungkapkan hasrat keinginannya. Lantas, aku sendiri mesti peka agar ia tak menangis. Peka agar ia tak murka.
"Sebegitu pentingkah manusia? Sebegitu harus muliakah seorang manusia?"
"Sepertinya aku tak berpikiran seperti itu. Alangkah lebih baik mungkin jika manusia tidak ada."
"Tapi dari yang harusnya tidak ada itulah maka manusia diparipurnakan."
Untuk naik ke atas gunung, kita mungkin terlalu fokus untuk mengerahkan segala upaya untuk mencapai puncaknya. Benar. Di atas memang sangat indah. Aku pun merasa seolah semakin dekat denganNya. Kita lupa mesti menyisihkan tenaga untuk kembali pulang. Kebanyakan para pendaki tersesat bahkan hilang ketika mereka dalam perjalanan pulang.
Begitupun manusia, segala upaya kita fokuskan hanya untuk menikmati keindahan. Itu naluri. Kita tidak bisa membenarkan ataupun menyalahkan. Benar dan salah hanyalah prasangka manusia yang sewaktu-waktu mampu diintervensi oleh Tuhan. Manusia terjebak di dalam kefanaan. Bahkan, manusia terjebak di dalam prasangka yang dibuatnya sendiri.
Mereka mengetahui jika kelak akan kembali dipanggil oleh Tuhan. Mereka tahu jika kepastian utama dalam hidup adalah mati. Tapi itu hanya demi keindahan akan hasrat. Mereka seperti bayi yang menangis meminta susu. Mereka tahu keinginannya tapi sering lupa bahkan belum bisa mengucapkan kata-kata yang benar untuk meminta susu. Padahal hasrat itu semestinya dibarengi dengan ketulusan. Sedangkan, Sang Bayi hanya bisa menangis.
"Kalau begitu, apakah Tuhan mesti peka terhadap kita?"
"Bahkan sebelum manusia ada, para malaikat pun sudah mengetahui jika manusia hanya akan membuat kerusakan di muka bumi. Bahkan Sang Utusan pun menangisi ummatnya."
"Meski begitu, para malaikatpun tetap tunduk pada manusia kecuali raja malaikat pada waktu itu."
Nalar kita mesti mampu menembus lipatan waktu. Manfaatkanlah waktu sebaik-baiknya sebelum dia memenggal kita. Nalar kita mesti dilatih menembus lipatan dimensi-dimensi alam yang begitu klise. Lalu berpijaklah pada qalbu atau hati yang menjadikanmu istimewa. Tapi sekali lagi, hasrat menggelapkan manusia.Segala keinginan membutakan hati. Segala kefitrahan seketika berubah menjadi terkotori oleh nafsu. Hingga cahaya-cahaya yang sejak awal itu memancar akhirnya redup.