Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Mengutamakan Kasih Sayang daripada Kekuasaan atau Kekuatan #1

2 September 2019   16:18 Diperbarui: 2 September 2019   16:24 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah dibuka dengan serangkaian acara pembukaan, sambutan dan peresmian Masjid Sakina Idaman. Para jamaah langsung berebut maju ke tempat yang lengang untuk dapat lebih dekat dengan panggung. Saya hanya terheran, dalam pembelajaran formal biasanya para murid cenderung menghindari barisan paling depan. Tapi dalam sinau bareng, mengapa mereka berebut untuk menempati tempat sedekat mungkin dengan panggung? Tentu ini bisa menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pendidikan formal dengan memperhatikan pendekatan metode pembelajaran.

Meskipun kurikulum digonta-ganti terus namun tidak ada kedekatan antara guru dengan murid, tentu suasana pembelajaran akan terasa membosankan. Padahal, jika sudah membosankan pasti niat untuk belajar atau sekedar untuk mengetahui pun seakan hilang. Tapi, jamaah yang berebut tempat tadi menunjukkan betapa rasa ingin belajar mereka pada malam hari ini. Meskipun tidak semuanya karena sudah ada yang terlihat sudah nyaman di posisinya. Belajar tidak tergantung pada tempat atau jarak kedekatan dengan guru. Akan tetapi, tergantung pada sampai dimana kita menemukan kenyamanan untuk "mencari tahu" tentang suatu ilmu.

Saya selalu menanti pertanyaan awal Mbah Nun kepada jamaah ketika membuka acara. Karena pertanyaan tersebut bagi saya selalu menjadi pemantik untuk mencari tahu lebih dalam, termasuk untuk merangkai kata demi kata dalam coretan ini. "Apakah belajar itu hanya belajar? Apa belajar itu juga bermakna bekerja?" tanya Mbah Nun. Kalau pertanyaan tersebut kita terapkan dengan faidza faraghta fanshob, mungkin kita akan diperjalankan ke samudera ilmu yang begitu luas. Disaat kebanyakan sekolah sekuler saat ini lebih banyak belajar tentang penghidupan, daripada kehidupan.

Setiap apa yang kita lakukan sudah pasti mengandung dimensi niat yang berbeda-beda. Dengan begitu banyak fadhillah setiap individu untuk mengaplikasikannya agar bermanfaat bagi lingkungannya. Entah demi kebersamaan, kesejahteraah bersama, ataupun demi keseimbangan alangkah baiknya niat yang begitu banyak tersebut dipuncaki dengan demi mendapatkan ridho Allah.

Term sinau bareng ini pun dibuat sedemikian rupa agar semua bisa saling berdialektis menemukan bersama yang paling presisi. Setidaknya untuk belajar menempatkan diri pada posisi yang tepat di zaman yang serba terbalik. Bagaimana tidak? Mbah Nun berulang kali melontarkan beberapa tujuan hidup -seperti menjadi kaya, kuat, kuasa, pintar, baik, terkenal- saja yang menjadi prioritas sudah terbalik. Menjadi baik sudah tidak begitu penting asal bisa kaya dan berkuasa. Sedangkan diantara tujuan-tujuan hidup tersebut adakah yang berlaku di hadapan Allah? "Kecuali rasa cinta" Mbah Nun menambahkan.

Kyai Muzzamil sedikit memberikan dalil tentang cinta tersebut. In kuntum tuhibbunallah, fattabi'uni yuhbib kumullah. Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku (Nabi Muhammad SAW). Lalu Mbah Nun menambahkan dengan ayat yang lain, "nek pingin ketemu 'aku', berbuat baiklah dan beramal saleh." Tapi adakah orang-orang dengan tujuan-tujuan hidup tadi ingin bertemu Allah, kecuali hanya menginginkan pahala-Nya dan kenikmatan surga-Nya. "Lalu siapa yang mau bertemu Allah? Kalau bukan yang merasakan cinta."

Sayangnya "innalillahi wainna illaihi roji'un" di Indonesia selalu dikesankan sebagai informasi kematian daripada untuk kembali berpulang dalam kesejatian. Sebuah perjalanan yang dinanti setelah memendam lama rasa rindu dalam ruang yang bernama "hidup". Disaat sudah semestinya banyak orang pintar dengan label ijazah perguruan tingginya, atau alim karena pengalaman ngajinya mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik tapi justru sebaliknya. Lantas, Mbah Nun mengatakan bahwa ilmu itu diberi oleh Allah, bukan karena kita pintar. wa ma uutitum minal 'ilmi illa qaliila.

Jika sifat pintar itu sendiri merupakan suatu berkah, tentu ada regulasi-regulasi terentu untuk mendapatkannya. Berbeda jika hal tersebut merupakan suatu rahmat. Karena rahmat Allah tidak terbatas dan tidak terhenti. Lalu, apabila kita mampu menikmati rahmat tersebut dengan mawadah yang sesuai dengan kapasitas untuk menampung cinta, somoga para jamaah diharapkan mampu untuk mewujudkan sakinah. Karena sakinah sendiri merupakan suatu hal yang terus menerus diperjuangkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun