Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Andai Saja Air Itu Kita Anggap Hidup

28 Agustus 2019   15:47 Diperbarui: 4 September 2019   15:29 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama ini kita terlalu meremehkan air. Disaat dialah yang awal, yang mengawali sebuah kehidupan di bumi jagad raya yang menjadi rumah berbagai makhluk hidup ini. Kita hanya sibuk mencari manfaat disaat lupa untuk mengelolanya secara tepat. Tapi bagaimana kita bisa mengelola secara bijak jika tidak ada rasa hormat sama sekali terhadap air. CSR tak lebih hanya sekedar formalitas yang dibangun tanpa kesadaran akan betapa pentingnya menjaga lingkungan.

Air memang hanyalah sebatas zat. Namun, tanpanya kita tidak akan mampu bertahan hidup. Manusia kurang tawadhu' terhadap sang masterpiece kehidupan ini, hingga kita lupa untuk belajar atau menimba ilmu kepadanya. Darinya, kita dapat menemukan banyak af'al Sang Maha Pencipta. Tapi, sekali lagi kita terlalu sibuk memanfaatkan dan mengambil keuntungan sendiri daripada mencoba untuk bermesraan dengannya.

Jika kita melihat apa yang menjadi kendala di wilayah bakal calon mantan ibukota negara, yang selalu saja berkutat masalah air setiap tahunnya. Jika kita mau belajar kepada air, jangan menyalahkan air yang datang atau karena curah hujan yang tinggi, karena sifat air selalu sama. Mungkin saja Jakarta lupa kalau sifat air yang utama adalah menyesuaikan tempatnya. Tidak mungkin genangan yang kerap disebut banjir itu terjadi tanpa wadah atau tempat yang memang sepertinya.

Bisa jadi saluran airnya, atau pembangunan tempat tinggal dan infrastruktur yang terlalu masif untuk menyokong nafsu kenyamanan para penduduknya. Tapi disaat yang bersamaan, mereka lupa kalau mereka hidup juga berdampingan dengan alam. "Amdal" juga tak lebih hanya sekedar formalitas. Disaat kendala utama setiap tahunnya adalah banjir, tapi, mereka terutama pemerintah hanya memprioritaskan pembangunan industri, perkantoran, tempat tinggal, transportasi. Pemerintah  bukan sebuah perusahaan yang bertugas mencari keuntungan. Pemerintah adalah abdi bagi rajanya, yaitu rakyat.

Apabila air itu hidup, adakah dia juga berhak untuk berdemostrasi kepada Tuhan. "Wahai, Tuhanku! Adakah segala pembangunan itu yang sedikit saja memberikan keuntungan kepadaku? Kecuali hanya atas nama ego keuntungan dan kenyamanan para manusia." Memang hanya manusia yang berhak untuk berdemonstrasi? Anggap saja banjir merupakan sebuah wujud demonstrasinya 'air' kepada para manusia yang enggan untuk berterimakasih.

Apa membuat lubang saluran air kurang menguntungkan bagi para pembuat kebijakan? Air itu hanya ingin kembali ke hilirnya. Menuju titik yang terendah. Namun, sekalipun ia mengalir ke tempat yang lebih rendah, pada akhirnya cahaya akan meninggikan derajatnya untuk kembali ke langit. Bagi para intelektual, proses ini sering disebut penguapan atau evaporasi. Sebelum kembali lagi memberikan kehidupan ke alam semesta melalui hujan. Apakah salah jika selain memanfaatkan, para manusia juga memberikan kenyamanan kepada air untuk bejalan, mengalir dengan nyaman?

"Jalan-jalanku kau sumbat dengan sampah, kau timbun dengan beton-beton, bahkan semakin kau sempitkan jalanku demi kenyamanan kalian saja, wahai manusia!" gumam air di sebuah feed akun instagramnya. Tapi jangan samakan ruang media sosialnya dengan ruang media sosial para manusia.

Tapi para manusia itu mencoba (sok) ramah dengan air disaat tidak ada aji atau rasa hormat sama sekali terhadap air. Termasuk dalam program menabung air dengan istilah zero run off atau tidak boleh keluar dari wilayah bangunannya. Meskipun dengan konsep pemikiran dapat digunakan sebagai cadangan air bersih, tapi menurut saya pribadi menabung air di daerah hilir sekelas Jakarta dengan debit air yang tinggi terasa kurang tepat.

Jika saja pemerintah Jakarta berada dalam pilihan anatara menanggulangi kemacetan dengan berbagai faktor yang menyebabkannya dan menanggulangi banjir setiap tahun yang sudah pasti terjadi, manakah yang mesti lebih diprioritaskan? Dan sudah pasti, kaum buruh seperti kami yang tinggal di lingkungan padat yang akan menjadi korban banjir tahunan. Lagipula kami tidak terlalu penting. Dibandingkan dengan menyediakan akses transportasi yang nyaman bagi para penguasa. Kami yang berada di bawah sudah terbiasa dengan banjir yang selalu menyapa tiap tahun. Begitu pula dengan janji Bapak-Bapak Gubernur selanjutnya.

Sudah pasti pembangunan ekonomi lebih diutamakan, daripada menyelamatkan jiwa, apalagi belajar memesrai air. Pemimpin yang bertugas menjadi contoh juga sudah semestinya menjadi tauladan dan belajar mengenali air. Bahwa air juga butuh diperhatikan. Lebih baik ditegur dengan kata-kata daripada ditegur oleh alam secara langsung, bukankah begitu?

Anggap saja kita sudah berfikir, tapi apa yang dijadikan landasan untuk berfikir? Nafsu tidak mau rugi (apapun itu termasuk citra seseorang) atau kebijaksanaan yang memang menjadi tugas utama manusia sebagai khalifah. Mengkhilafahi air saja tak sanggup, bahkan lupa. Malah ingin mengkhilafahi negara. Manusia terkadang memang lucu. Jangan-jangan mereka lupa mengkhilafahi diri sendiri. "Memang!" sepertinya suara itu datang dari dalam gelas di meja kerjaku. Andai saja air itu sanggup kita anggap bersama sebagai sesuatu yang hidup. Andai saja!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun