Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keadilan Sosial Hanyalah Mimpi

28 Mei 2019   15:44 Diperbarui: 28 Mei 2019   16:14 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kehidupan berbangsa dan berbegara, yang telah memiliki sistem pemerintahan yang sedemikian rupawan. Yang kadang terlalu rupawan. Atau tidak hanya terkadang, tapi selalu nampak rupawan. Sistem-sistem ini dibuat dengan tujuan utama yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Setelah sekian lama negera tersebut katanya telah "merdeka" sejak tahun 1945. Sekuat apapun mereka berusaha. Sebrilian apapun mereka menerapkan sistem-sistem untuk mensejahterakan perekonomian. Tetapi tetap saja sampai sekarang usianya telah mencapai 73 tahun, tujuan tersebut belum mampu untuk diwujudkan.

Karena keadilan itu sendiri rasanya hambar. Menurut Pak Zonk yang namanya keadilan, ya kalau polling menunjukkan pak Wowo mengungguli Pak Joko. Sementara masyarakat melihat kalau lembaga yang mengadakan polling tersebut telah memanipulasi data sehingga memenangkan Pak Wowo. Logika terhadap keadilan itu sendiri sifatnya fluktuatif. Tergantung empan dan papan. Tergantung timing-nya seperti apa.

Kita suka berharap keadilan yang secara tidak sadar hal tersebut merupakan keegoisan kita untuk mendapatkan kenyamanan, kemapanan. Secara individu saja terkadang kita tidak bisa bersikap adil. Kita terlalu banyak memanjakan perut daripada otak. Kita terlalu banyak memikirkan perut yang kososng daripada otak yang perlu juga diberi asupan-asupan cakrawala keilmuan. Agar ia tidak kopong. Kita ingin sehat, akan tetapi yang dipikirkan hanya perut, ya mustahil!

Begitupun dengan negara ini yang ingin mewujudkan keadilan sosial, yang berarti target dari tujuan itu (rakyat Indonesia) memiliki hak ataupun jaminan untuk mendapatkan keadilan itu. Lha modyar wae, Cuk! Padahal mayoritas rakyatnya menganggap jika keadilan itu bersifat kenyamanan dan kemapanan  dalam sudut pandang perekonomian. Yang kurang mampu ingin kaya, yang kaya ingin semakin bertambah kaya.

Keadilan di negeri itu memiliki banyak sekali arti. Yang harusnya negara tersebut dapat menyatukan asumsi keadilan itu sendiri. Bagaimana Negara menjembatani? Bukan berusaha ngurusin sesuatu, yang akhirnya malah ngrusuhi sesuatu, njipuki, nggondoli hak-hak yang tidak seharusnya menjadi milik yang 'sok' berusaha mengurusi.

Jangan berpenampilan adil yang sok sosial. Negara tidak akan mampu mewujudkan tanpa kerjasama dari seluruh elemen negara. Mesti disatukan satu suara keadilan seperti apa yang mereka bayangkan. Atau hanya akan bertingkah adil yang sok sosial itu akan berjalan sedemikian rupa sampai anak cucu kita tidak memiliki keadilan apapun karena hak-hak keadilan mereka telah terampas semua oleh para elite penguasa.

Ini bukan ramalan, ini adalah salah satu bentuk kepedulian. Salah satu bentuk kasih sayang karena terlalu banyak memikirkan yang seharusnya tidak mau kupikirkan sama sekali. Sebenarnya saya malas membuat essay yang seperti ini. Karena negara ini telah terlalu banyak membuat janji-janji palsu. Terlalu banyak orang rakus yang berkuasa. Terlalu banyak wakil rakyat yang menyukai pencitraan yang terbungkus dalam ke-eksistensi-an media.

Dimana mereka hanya memikirkan mereka yang berpendidikan. Tiap pengurus negara mereka adalah mantan mahasiswa-mahasiswa yang telah terpelajar. Terdidik sedemikian rupa untuk meneruskan perjuangan para pendahulu mereka yang telah sukses banyak menipu rakyat. Mantan mahasiswa-mahasiswa itu tidak terdidik untuk menjadi generasi baru yang berani melawan arus zaman. Melawan segala bentuk ketidakadilan secara lantang, bukan sembunyi-sembunyi lewat akun jejaring sosial mereka. Yang terlalu banyak berisikan rupa-rupa mereka nan rupawan.

                Terlalu banyak kaum intelektual di negeri ini, tapi tidak diimbangi dengan spiritualitas dan mentalitas yang seimbang. Hingga keadaan negara zaman now menjadi bukti betapa "indahnya" moralitas para pemuda negeri mimpi tersebut.

                Yang ku mengerti hanya segala sifat itu ternyata relatif, semua itu sementara. Segala sifat tak bisa jadi tujuan ataupun karena bukan itu yang sejati. Kita hanyalah keabadian yang terbelenggu dalam kesementaraan. Kita hanya bisa berusaha istiqomah terhadap suatu sifat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun