Mungkin, terlalu panjang kalau mesti membahas itu, silahkan dimaknai sendiri. Itu baru terhadap perbedaan antarmanusia tentang keinginan menyapa satu sama lain. Antar manusia saja sudah kolot, bagaimana caranya ia sanggup srawung terhadap hewan, tumbuhan, bahkan batu? Mereka mungkin bisa srawung jika itu lebih menguntungkannya.
Bahkan sebelum keluar srawung pun sebenernya ada yang mesti kita ajak srawung juga, yaitu apa yang ada di dalam diri kita. Sebelum srawung keluar, sering-seringlah srawung kedalam. Disapa. Digemateni. Karena srawung keluar itu sendiri adalah ejawantah dari seberapa sering kita sering menyapa atau srawung ke dalam diri kita. Absurd kan? Memang! Jadi jangan sampai salah mencintai diri sendiri. Diri yang mana? Jangan kaget jika nanti cinta itu akan nampak suwung kalau kamu mencarinya.
"Tresnamu suwung, uripmu agung" tutur seorang begawan. Bukan sukses, apalagi makmur! Suwung itu tidak akan tercapai jika sendiri pun masih sering dihindari. Bukannkah segala yang menopang ke-eksistensian bumi ini pun adalah semesta yang penuh dengan kesuwungan/kehampaan? Karena satu konsekuensi mencintai dalam kehidupan adalah siap untuk ditinggalkan. Hanya rindu yang akan menjadi bekal menuju keabadian. Sekarang tinggal bagaimana cinta kita mampu memahami fadhillah tiap-tiap insan ciptaanNya untuk dapat selalu kita srawungi. Wallahu 'alam.