Aku menangkap perhatian dari setiap kata yang diucapkan. Aku merasakan getar cinta setiap mata kami tanpa sengaja bertemu. Namun, Ima adalah gadis mulia, ia selalu bisa menghindari permintaanku untuk berjalan hanya berdua.
Ia selalu bisa mengalihkanku ketika kata cinta itu kan kuungkap.
Aku menghargai prinsip hidupnya. Akan kujaga dengan baik rasa yang kian hari mencengkeram kuat di sudut terdalam hatiku. Hingga saat itu tiba, saat toga kelulusan kita bertengger dengan manis di kepala.
Dengan keberanian yang kupendam lama, aku menyatakan cintaku dan berjanji akan segera mempersuntingnya.
Aku menangkap binar bahagia pada netra indahnya. Semu merah di pipinya semakin menambah kecantikannya. Senyum yang tercipta, membuncahkan bahagia di hatiku. Aku tahu, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Kerinduan ini, menemukan muaranya.
“Mas Rakha datanglah menemui ayah. Ayah hanya akan menerima lelaki yang datang untuk mempersunting putrinya untuk menjadi bidadari di hatinya,” ucapnya lembut.
"Ya, aku akan segera menemui ayahmu,” sambutku bahagia.
“Tapi, aku belum memiliki pekerjaan. Apakah ayahmu akan menerimaku?" tanyaku ragu.
“Datang saja ke rumah, Mas, temui ayah. Ayah tahu lelaki mana yang bisa membahagiakan putrinya,” yakin Ima.
Pramusaji datang memecah lamunanku. Ia membawa makanan dan minuman pesananku. Bersamaan dengan itu, Panca menampakkan batang hidungnya. Lelaki berkulit sawo matang itu, tersenyum lebar ketika matanya mendapatkan diriku tengah meneguk secangkir kopi pahit.
“Hai, Bro. Apa kabar? Wah, makin kelihatan matang sekarang,” sapanya antusias.
“Matang? Emang gue buah, apa?” protesku.