Mohon tunggu...
Tatan Tawami
Tatan Tawami Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Pemula

Belajar menulis untuk mengekspresikan ide dan membahasakan citra mental

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Segitiga Kania

18 September 2022   10:35 Diperbarui: 18 September 2022   10:39 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di dalam kamarnya Kania melepaskan tangisnya yang ditahan-tahan dan perlahan mulai menemukan ketenangan emosinya. Dia selalu ingat petuah Jaka yang berkata padanya ketika luapan emosi meledak tak tertahan, Jaka biasanya mengambil air wudu lalu salat dan mengaji hingga sedihnya mereda. Katanya, mengaji itu seperti sedang curhat pada Allah atas semua hal yang terjadi di luar kendalinya, meminta Allah untuk menguatkan dan membesarkan hati. "Bahkan hal seperti ini pun dia dapat dari Jaka, bukan ayahnya yang seharusnya bisa mengarahkan dia" gumamnya ketus namun sambil perlahan membuka pintu kamarnya tepat di jam 03.00 menuju kamar mandi untuk berwudu. Ibunya yang sudah terbangun sedari 30 menit sebelumnya memperhatikan dari celah pintu kamarnya, "Kania tidak pernah kehilangan pegangan hidupnya, bahkan dengan semua gemerlap dan kerasnya hidup di Ibukota" gumamnya sambil tersenyum mendoakan segala kebaikan untuk putrinya. Sepagi buta itu Kania bertahajud lalu mengaji hingga parau suaranya dan tangis tenang datang padanya menjelang azan Subuh.

Selepas Subuh, dia lantas menuju kamar adik perempuannya yang kemarin sore datang. Dia tahu, sikapnya telah membuat adiknya bingung bahkan mungkin kecewa. Dia bangunkan adiknya lalu memeluknya sambil berkata "Maafin teteh ya kemaren sore. Kamu wudu terus shalat, kita jalan-jalan pagi sambil makan surabi, yuk". "Siap, teh" Dijawabnya dengan penuh semangat.

Dengan latar hamparan kota Bandung pagi hari mereka menikmat surabi. Dingin pagi itu tidak begitu terasa karena hawu tempat masak surabi itu memang masih sangat tradisional menggunakan kayu bakar yang mengisi setiap anglo cetakan surabi. Rara, adiknya yang kini menginjak semester akhir di salah satu Universitas di Jatinangor, tidak bertanya apa pun tentang kejadian kemarin sore. Bukan karena tidak peduli, tapi dia kenal baik sifat kakaknya yang tidak akan bercerita jika bukan dia sendiri yang memulai. Baginya, masalah itu bukan untuk dibagi, tapi diselesaikan. Lagi pula, Rara hanya ingin menikmati waktu ketika bersama dengan kakaknya yang sudah lama tidak ditemuinya.

Rara tidak pernah tahu perihal ayahnya yang memiliki istri muda. Kania berpesan dengan tegas pada ibunya agar semua adiknya tidak perlu tahu ini semua karena bagi Kania sendiri ketika tahu tentang hal ini dunianya seakan runtuh. Beruntung ibunya membesarkan hatinya meski masih tidak mengerti dengan alasannya, "mamah mah nu penting anak-anak mamah teu kakirangan kanyaah". Tetiba saja dia ingat perkataan ibunya ini yang dulu diartikannya sebagai ketidakmampuan ibunya untuk membiayai sekolah anak-anaknya karena hanya mengandalkan pemberian ayahnya. Sejak itu pula, Kania dan Ibunya merintis usaha rumahan agar tidak mengandalkan ayahnya semata, usaha yang ternyata lebih bisa menghidupi anak-anaknya daripada pemberian ayahnya. "Tapi naha mamah teh bertahan keneh wae?" gumamnya bertanya-tanya tentang kenapa ibunya tetap bertahan selama ini.

"Teh, saur mamah bade nyobian damel di Bandung senah engke mah" Tanya adiknya memecah sepi yang bertanya tentang kakaknya yang akan kerja di Bandung nanti.

"Muhun, insha allah, mudah-mudahan dua atanapi tilu taun deui teteh bade netep di Bandung. Jakarta mah panas, Ra. Panas udarana sareng panas kompetisina. Kirang-kirangna kuat niat mah moal bertahan di Jakarta mah" Jawabnya panjang lebar mengenai kehidupannya di Ibukota.

"Emang niat teteh naon kitu bisa tahan sakitu lamina di Jakarta?" Pertanyaan yang sangat menohok karena menelisik motif Kania hingga bertahan selama itu di Jakarta. Karena bagi Kania, mengusahakan untuk keluarganya masih bisa dilakukan di Bandung, namun pemulihan perasaan terhadap Jaka yang tak pernah berbicara tentang perasaannya meski sudah sangat dekat lah yang menjadi motivasi kuatnya.

"Keluarga" Jawabnya pendek meski agak lama dijawabnya karena pertanyaan yang sangat menohok baginya. Diam cukup lama. "Hayu ah, uih. Ke sonten urang ka Bioskop tea nya" Kania mengajak pulang dan menjanjikan nonton bersama seperti telah lama dia janjikan. Mengalihkan perhatian Rara. Kepada siapa dia bisa bercerita tentang foto yang dia lihat di Instagram itu? Sepertinya tak seorang pun bisa paham dinamika yang terjadi dengan foto itu selain ibunya. Tapi, enggan rasanya berbagi kepedihan ini pada ibunya yang Kania tahu akan dimulai dengan tangis oleh ibunya, berempati sepenuhnya, meminjam semua kesedihannya lagi di masa lalu.   

***

Kini, sekedar membuka Instagram saja dia masih belum kuasa, khawatir melihat lebih jauh lalu ingin tahu lebih jauh, buat apa? "Mencabik-cabik perasaan sendiri" gumamnya. Hari ini Sabtu, 25 Juli 2023 pukul 13.00 Kania sedang di perjalanan menuju wawancara kerja di Gapura Pustaka. Perkiraan kasar, dia akan sampai di sana sekitar Pukul 14.00. Rencananya untuk datang pagi ke wawancara urung dilaksanakan karena bersama kedua adiknya dan ibunya dia menghabiskan waktu pagi bersama di kawasan Taman Hutan Raya Juanda, Dago, Bandung. Ayahnya tidak ikut serta, karena sudah ada agenda biasa yang tidak bisa diganggu. Kepada ibu dan adiknya ayahnya selalu berkata bahwa ada kontrak kerja jangka panjang yang harus dikerjakannya di setiap akhir pekan. "Kontrak kerja jangka panjang", istilah yang cukup berhasil meyakinkan kedua adiknya sampai sejauh ini.

Sampai di Gapura Pustaka tepat jam 14.05, Kania menjadi orang ketiga terakhir untuk diwawancara setelah dia mengisi daftar hadir wawancara. Tanpa diketahuinya, Jaka adalah pewawancaranya nanti. Pun bagi Jaka, dia tak tahu wanita yang selama ini diam-diam dia cari tahu keberadaannya dan diam-diam dia doakan segala kebaikannya kini hanya tersekat dinding dan terhalang dua orang saja, menunggu untuk berbicara secara resmi ihwal pekerjaannya. Jaka hanya tahu bahwa ada tiga orang lagi sehingga dia mulai menghitung waktu untuk menyelesaikan wawancara sesegera mungkin. Maklum, ini akhir pekan yang biasanya jadi hari libur namun harus diselesaikannya dengan pekerjaan tambahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun