Mohon tunggu...
Tatag Y.E. Siswono
Tatag Y.E. Siswono Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Belajar, Belajar, dan Belajar Lebih Baik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Robot Pintu Tol

13 November 2014   22:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:52 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1415866519345472333

Matahari kembali bersinar. Warna merah kekuningan menghias langit. Langit tampak tenang. Angin berhembus. Pepohonan daunnya bergerak. Mobilku melaju berhenti-maju. Lurus dari satu pohon ke pohon berikutnya. Kemudian melepas… Sedikit bergerak merayap. Berhenti kembali di perempatan. Semua mobil inginnya melaju. Merangsek maju. Sambil mengatur posisi. Jangan sampai motor mencium mobil. Atau mobil menderat mobil lain. Masing-masing berjuang. Pergumulan motor dan mobil dengan tanda tanpa arah. Inginnya mendahului yang lain. Maunya diberi kesempatan melaju. Seorang polisi mengangkat tangan. Menandai mobil bisa bergerak. Bergeraklah mobilku memasuki pintu gerbang tol.

Pembatas polikarbonat merah kokoh berderet. Dijajar rapat. Di selang- seling trafficcone. Seperti kerucut ujungya merah. Bagian tengah berwarna putih, dan dasarnya merah. Pembatas lain lebih permanen dari beton. Mataku hati-hati tengak-tengok. Sambil kadang pelan dan maju cepat. Menunggu antrian dari satu mobil ke mobil lain. Semakin mendekat pintu tol. Liarnya pikiran kadang muncul tanda tanya. “Laki atau perempuan ya... yang memberi kartu?”. Seringnya lewat saja. Hanya mungkin tangan bersentuhan. Tanda pintu tol telah terlewatkan. Berikutnya bergerak melesat menyusuri jalan besar. Tujuannya bebas hambatan. Kenyataannya, kadang padat merayap atau macet tak bergerak.

Kalau lancar cuma butuh 20 menit berpacu di jalan tol. Bahkan bisa kurang, kalau berani menerjang bahu jalan. Sampai di ujung , mobil menepi bergerak ke kiri. Rambu-rambu pintu keluar terlihat tanda. Tertulis “Pintu Keluar Tol Waru”. Perhatian mataku mencari kartu tol. Di jok sebelahku kulihat awal. Tidak tampak. Sambil lalu mengendalikan stir mobil, mata dan tangan kiriku bersinergi tugas. Tiba tangan akhirnya memungut kartu. Kartu tol terselip di tempat spesialnya.

Aku ulurkan tangan membayar tol. Seorang ibu-ibu menangkap uang dan kartu. Digantinya secarik kertas kecil. Tanda ijin bisa melanjutkan perjalanan. Begitu saja. Wajah ibu penerima uang tol kuhafal. Meski ada empat pintu, kelihatan diatur beberapa shift dan beberapa regu. Demikian juga di pintu tol masuk Sidoarjo. Bedanya sudah dihiasi oleh wajah gadis dan perjaka berumur duapuluh atau dualimaan. Lebih segar pandangan keluar atau masuk tol itu.

Gadis penjaga pintu tol tangannya hanya terjulur. Beberapa kartu dibiarkan ditangkap supir. Jika habis, dicarinya lagi. Jika teman sebelah menggoda, perhatiannya terbelah. Tanpa terima kasih atau tatapan rupa. Sering juga, wajah sebagian ditutup kain masker. Melindungi keengganan bertegur sapa. Mereka ibarat robot. Membagi kartu, menerima kartu. Membayar dan memberi kembalian. Apakah demikian?

Kalau benar, sudah saatnya diganti yang benar-benar robot. Mungkin lebih efisien. Dilengkapi sensor jika mobil mendekat pengeras suara berbunyi “selamat datang…silakan tombol…”. Ketika keluar, dibayarnya uang tol. Robot terisi suara berpesan “terima kasih, semoga sehat, sampai ketemu lagi..”.Apa begitu harapannya? Manusia tidak sama dengan robot. Robot diprogram secara sistematis dan terstruktur. Kata atau tanda yang dikeluarkan akan permanen sampai rusak. Tidak seperti manusia yang mungkin sebaliknya.

Selayaknya, jika ditugaskan manusia, sisi kemanusiannya marak. Kalau ditatap dan disebut “terima kasih”, balasnya lebih indah. Aku sudah praktekkan lama, tapi jawaban kembali tidak terdengar. Bahkan desis tandanya seperti mengangguk… jarang ditampilkan. Aku pernah berinisiatif, membuat tanda turus… kalau dia menjawab sapa dan ucapan. Ingin tahu saja, berapa persentasenya? Tapi, tidak sampai kulakukan. Berhitung kasar saja… para penjaga pintu tol itu selayak robot.

Keramahan Indonesia yang terkenal tidak terbukti. Dia hanya penanda tugas dan kerja mekanistis. Bayangan seorang gadis seperti pada suatu iklan produk vitamin C tahun 1994-an sudah punah. “Vitamin C-nya mana?”, seorang penjaga pintu tol senyum manis. Kapan lagi keramahan menjadi budaya? Semoga pihak yang berperan memberi perhatian. Pintu tol menjadi ajang promosi keramahan dan cermin karakter. Juga menjadi hiburan di penat menunggu antrian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun