Tuberkulosis atau sring disebut penyakit TBC, merupakan penyakit menular yang hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan global, bahkan Indonesia masuk pada peringkat ketiga sebagai negara dengan kasus TBC paru terbanyak. Namun, tahukan anda bahwa penyakit ini sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu?. Mari kita bahas bagaimana sejarah dari penyakit TBC paru.
Awal Mula Tuberkulosis: Jejak di Mumi Kuno
Jejak penyakit ini ditemukan pada mumi Mesir kuno yang hidup sekitar 3000 tahun SM. Para arkeolog menemukan lesi tuberkulosis pada tulang belakang pada mumi yang dikenal dengan Potts disease. Pada abad ke-18 menyebar luas di Eropa melalui perdagangan, peperangan dan kolonialisasi. Penyakit ini dijuluki dengan sebutan "The white plague" karena membuat penderita tampak pucat, lemah, dan akhirnya meninggal. Selain itu TBC juga dikenal dengan istilah lain seperti phitis,tabes, dan schachepheth. Dimana semua istilah ini merujuk pada kondisi klinis seperti tubuh yang kurus, lemah, dan hancur. Pada masa itu, belum ada ilmuwan yang menemukan penyebab penyakit ini. Masyarakat mengira TBC berasal dari faktor keturunan atau gaya hidup, bukan dari bakteri. Perawatan pun masih sangat terbatas, sehingga pasien hanya disarankan untuk beristirahat di sanatorium (tempat perawatan yang biasanya dibangun di wilayah pegunungan).
Robert Koch dan Bakteri Mycobacterium tuberculosis
Pencerahan datang pada abad ke-19, berkat ilmuwan asal Jerman yaitu bernama Robert Koch. Ia mengambil sampel dahak dari pasien TBC dan mengamatinya dibawah mikroskop. Untuk membuktikan dugaannya, Koch mengisolasi dan membiakkan bakteri tersebut, lalu menyuntikkan pada hewan percobaan. Hasilnya, hewan percobaan menunjukkan gejala yang sama dengan manusia. Dari penelitian ini, koch menyimpulkan bahwa penyakit TBC disebabkan oleh bakteri, bukan kutukan. Bakteri ini kemudian diberi nama Mycobacterium tuberculosis, dan Robert Koch dikenal sebagai bapak penemu bakteri tuberkulosis.
Sejarah TBC di Indonesia
Jejak TBC di Indonesia sudah ada sejak abad ke-8 Masehi, terbukti dari relief di Candi Borobudur. Relief ini menggambarkan sosok kurus dengan dada cekung dan tulang menonjol, ciri khas penderita TBC. Kemungkinan besar penularan terjadi melalui jalur perdagangan kuno dengan India, Tiongkok, dan Timur Tengah. Pada abad ke-18 hingga 19, bangsa Eropa yang bermigrasi ke Hindia Belanda (sekarang Indonesia) turut membawa penyakit ini. Kondisi sosial ekonomi yang rendah, lingkungan padat penduduk, gizi buruk, dan sanitasi yang tidak baik membuat penularan TBC semakin cepat. Pusat penyebaran saat itu adalah pelabuhan dan kota-kota besar seperti Batavia, Surabaya, serta Semarang.
Perkembangan Penanganan TBC di Indonesia
Melihat tingginya angka kematian, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Nederlandsch-Indische Vereeniging tot Bestrijding der Tuberculose (NIVBT) pada awal abad ke-20. Mereka membangun sekitar 15 sanatorium untuk isolasi dan perawatan pasien. perhimpunan ini juga memiliki 20 penyuluh kesehatan yang bertugas mengedukasi masyarakat tentang TBC. Setelah Indonesia merdeka, masalah TBC masih serius. Pada tahun 20 Mei 1968, dibentuklah Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonesia (PPTI) yang berperan dalam edukasi pencegahan dan penanganan kasus PPTI menjadi pelopor edukasi TBC kepada masyarakat luas dan bekerja sama dengan pemerintah serta pusat kesehatan. Pada tahun 1993, WHO menetapkan TBC sebagai “Global Emergency”. Sebagai respon, WHO memperkenalkan strategi Directly Observed Treatment, Short-course (DOTS) pada tahun 1994, yang diadopsi Indonesia pada tahun 1995. Strategi ini mencakup diagnosis pasti, pengobatan jangka pendek, pengawasan langsung, ketersediaan obat, serta monitoring dan evaluasi.
Tantangan Baru: MDR-TB dan Strategi Eliminasi