Kementerian Agama baru-baru ini mengeluarkan Daftar Nama Muballigh/Pencaramah Islam Indonesia. Daftar ini memuat 200 nama nama mubaligh berikut tingkat pendidikan dan bahasa yang dikuasainya.
Tak ada semacam preambul yang umum dijumpai dalam dokumen resmi yang dirilis lembaga negara. Tak ada juga stempel dan tanda tangan tertera disana sebagai penanggung jawab.Â
Ketiadaan preambul membuat semua orang bertanya-tanya apa sebenarnya tujuan Kemenag merilis dokumen tersebut. Jika saja tak berkop surat, dokumen tersebut lebih pantas disebut surat kaleng.
Publikasi daftar 200 nama mubaligh dilakukan tak lama setelah peristiwa kerusuhan di Mako Brimob Depok dan teror bom Surabaya. Tak heran jika rilis ini terkesan sebagai respon Kemenag atas kedua peristiwa tersebut.
Polemik pun pecah. Masayarakat yang sejak awal terpolarisasi membuat polemik semakin panas. Terlebih nama-nama muballigh/ penceramah yang diidolakan masayarakat dari pendukung oposisi tak muncul dalam daftar.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan pihaknya menerima banyak pertanyaan dari masyarakat terkait nama muballigh yang bisa mengisi kegiatan keagamaan mereka.Â
"Selama ini, Kementerian Agama sering dimintai rekomendasi muballigh oleh masyarakat. Belakangan, Â permintaan itu semakin meningkat, sehingga kami merasa perlu untuk merilis daftar nama muballigh," terang Lukman menjawab alasan dikeluarkannya daftar 200 muballigh tersebut.
Meski berdalih bahwa daftar bersifat dinamis dan bisa terus bertambah, banyak masyarakat terlanjur apriori.Â
Masih segar dalam ingatan bagaimana tindakan persekusi oleh sekelompok masyarakat atas Ust. Abdul Soamd di Bali. Juga pembubaran pengajian Ust. Khalid Basalamah di Sidoarjo oleh GP Ansor.
Pasalnya isi ceramah kedua ustadz tersebut secara sepihak dinilai tak menjunjung tinggi semangat toleransi dan anti NKRI- jargon yang kerap diusung pendukung pemerintah.Â
Sementara disisi lain, kedua ustadz tersebut merupakan idola para oposan. Video ceramahnya bertebaran di Youtube dengan jumlah viewer terbilang banyak.
Dengan adanya daftar itu dikhawatirkan akan mempertajam polarisasi di tengah masyarakat. Akan timbul kesan bahwa hanya mereka yang masuk daftar saja yang termasuk muballigh "baik". Selebihnya adalah penyebar kebencian, intoleran, dan anti NKRI.
Alih-alih menjadi rujukan, daftar itu berpotensi digunakan sebagai alat legitimasi persekusi.Â
Apa yang dilakukan Menteri Lukam terkesan gamang dan dipaksakan. Melalui daftar itu sepertinya dia ingin membuktikan bahwa dirinya telah bekerja dan "melayani" dengan baik dan sungguh-sungguh dalam menangkal radikalisme atas nama agama.
Menteri Lukman sepertinya berharap daftar tersebut dapat mencegah penyebaran bibit-bibit terorisme. Padahal faktanya kegiatan pengajian kaum khawariz yang kerap menebar teror sifatnya eksklusif. Jumlahnya terbilang sedikit.
Jumlah mubaligh/ penceramah di seluruh Indonesia itu banyak. Sekedar angka ratusan jelas tak akan cukup menampung.
Dibanding membuat daftar putih, lebih baik Menteri Lukman membuat daftar hitam. Karena daftar putih menimbulkan kesan mereka yang tidak terdaftar adalah muballigh "hitam".Â
Sebagai penghuni daftar hitam nomor satu sebut saja nama Abu Bakar Ba'aasyir misalnya. Dia sudah terbukti secara hukum terlibat dalam kegiatan terorisme.Â
Jika kemenag kesulitan mencari siapa penghuni daftar hitam berikutnya, langsung saja tanyakan ke Densus 88? (tasbul).