Fenomena korupsi yang sudah sistemik di negeri ini menarik untuk dicermati. Kehadiran lembaga pemperantasan korupsi (KPK) tidak membuat para koruptor gentar ketakutan malah sebaliknya korupsi mewabah dalam sistem pemerintahan dan politik negara kita. Korupsi tergolong suatu bentuk kejahatan sosial kelas berat karena korupsi sangat merusak tata kelola kehidupan bersama. Namun, bila kita mengamati korupsi di negeri ini, seakan-akan korupsi sesuatu yang lumrah, bukan dosa atau kejahatan berat meskipun akibatnya besar bagi hidup banyak orang. Korupsi menjadi suatu habit atau gaya hidup sebagian besar pejabat kita. Lihat saja raut wajah koruptor tidak pernah sedih atau takut, pada umumnya ceria, senyam-senyum dan tertawa ketika disorot ke publik. Perilaku para koruptor demikian membuat nurani dan akal kita terusik mengapa terjadi demikian? Mengapa seseorang koruptor tidak punya rasa malu dan bersalah pada perbuatannya? Mengapa satu koruptor tertangkap muncul 1000 koruptor yang lain?
Barangkali kita sedikit kecewa dan shock bila ada yang melihat korupsi itu suatu yang lumrah. Salah satu filsuf yang melihat korupsi sebagai persoalan biasa, bukan kejahatan adalah Thomas Hobbes. Menurut filosof ini korupsi itu sesuatu yang alamiah. Korupsi berkaitan erat dengan karakter hakiki dalam diri manusia itu sendiri. Karakter hakiki manusia itu mempenguruhi perspektifnya terhadap lingkungan atau masyarakatnya. Jika manusia berkarakter hakiki seperti manusia ala Hobbes hidup dalam sebuah sistem maka otomatis sistem itu dipengaruhinya. Namunm, tulisan ini bukan suatu apologia terhadap korupsi tetapi merupakan eksplorasi filosofis menemukan akar persoalan korupsi sehingga dengan memahami akar persoalannya kita bisa mengatasi persoalan ini pula. Maka maksud tulisan ini pun yaitu melihat hubungan antara pemikiran Thomas Hobbes dengan fenomena korupsi. Untuk menemukan relasinya kami membagi tulisan ini dalam empat subtema yaitu epistemologinya, kodrat manusia, manusia dan masyarakat dan hubungannya dengan korupsi.
Epistemologi Thomas Hobbes
“Hobbes merupakan seorang perintis materialisme modern. Menurut dia, kehidupan harus tunduk pada tata hukum alam. Karena bersandar pada hukum alam, makapengetahuan manusia juga haruslah berdasarkan pada pengalaman objektif dan observasi. Terhadap dunia alamiah, kita menarik hubungan sebab-akibat. Konsekuensi dari pemikiran ini adalah pengetahuan yang bersifat apriori tidak mendapat tempat dalam akal. Ia menolak metafisika tradisional abad pertengahan bahwa Allah sebagai penyebab pertama kenyataan. Baginya, gerak dan materi sebagai asas penyebab pertama, dalam hal ini Hobbes dipengaruhi oleh pemikiran mekanis Newton.
Dalam soal bahasa pun, Hobbes melihat fungsi bahasa manusia harus memiliki rujukan pada kenyataan. Kata-kata memperoleh maknanya dengan melukiskan pengalaman. Pengalaman adalah dasar dari semua pikiran, maka kata-kata haruslah sesuai dengan realitas yang dilukiskan oleh kata-kata tersebut.Bahasa puitis, alegoris ataupun metaforis tentu saja ditolak. Jadi kata-kata itu hanya ‘ornamen’ dari benda-benda atau realitas (pengalaman).
Kita tidak begitu saja menyangsikan pendapat filsuf ini, misalkan suatu pengalaman cinta atau kekecewaan yang mendalam tidak bisa dilukiskan atau diwakali sepenuhnya oleh kata-kata. Kata terbatas melukis pengalaman yang dalam. Namun epistemologi Hobbes ini sangat berpengaruh pada persoalan etika dan moral.Dari pola pikir yang demikian kita bisa melihat bahwa Hobbes membentuk manusia yang menganut paham realisme, positifisme dan materialisme. Konsekuensinya tentu saja sangat besar bahwa manusia tidak perlu memikirkan kebaikan, kejujuran, kemanusiaan, keadilan, kebahagian, kemasyarakatan dan sebagainya, karena kata-kata itu tidak ada rujukannya pada realitas. Bagi Hobbes dosa itu, emang gue pikirin? Karena hal-hal yang tidak berdasarkan pada pengalaman, bukanlah suatu kebenaran bagi Hobbes.
Kodrat Manusia dan Ajaran Etis Hobbes
Manusia sejak dari sananya terdapat dalam dirinya pertentantangan antara hal yang baik dan yang buruk. Hobbes berpendapat bahwa konsep “baik” bisa dikenakan kepada objek nafsu, sedangkan konsep “buruk” pada pengelakan. Dengan demikian nafsu merupakan kodrat manusia. Dalam bukunya De Homine, iamempertegas kodrat manusia ini sbb :
“manusia sebagai ‘mesin anti sosial’. Perasaan-perasaan dalam diri manusia adalah masukan-masukan dari luar melalui obyektifikasi panca indranya dan obyek-obyek yang telah diindra manusia itu menghasilkan reaksi-reaksi mendekati atau menjauhi obyek. Kalau mendekati, reaksi itu disebut “nafsu”, misalnya rasa nikmat, gembira, cinta dan seterusnya. Kalau menjauhi obyek, reaksi itu disebut “pengelakan” misalnya benci, kesedihan, rasa takut dll. Kedua macam reaksi itu bersaing dalam diri manusia. Kemenangan atau kekalahan dari satu reaksi itu, kita sebut sebagai kehendak. Maka, kebebasan memilih pada manusia juga terkungkung oleh reaksi-reaksi alamiahnya itu. Pandangan ini disebut determinisme psikologis”
Manusia pada dasarnya ingin memuaskan kepentingannya sendiri yaitu memelihara dan melestarikan diri atau kelompoknya sendiri dengan mencari kenikmatan dan mengelakan rasa sakit. Seseorang dikatakan bijaksana manakala orang tersebut mampu memaksimalisasi keinginan-keinginan dari dalam dirinya untuk kelestarian dan kemakmuran serta kenyamanan dirinya sendiri atau dengan kata lain manusia egois adalah manusia yang paling bijaksana.
Eksistensi manusia sangat soliptis, kesendirian di tengah lingkup sosial yang memiliki hasrat dan nafsu. Cara berada demikian menunjukan manusia sebagai ‘mesin anti sosial’. Jiwa manusia menurut Hobbes tidak dipahami sebagai sebuah kenyataan yang melampaui pengalaman, melainkan hasil dari penginderaan-penginderaan jasmaniah. Jiwa kehilangan ciri metafisisnya, sebab jiwa itu dapat dikembalikan pada materi dan gerak. Ia menilai bahwa manusia itu tidak lain hanya setumpuk material yang bekerja menurut tata hukum-hukum ilmu alam.
Manusia Hobbesian dianalogkan dengan sebuah arloji. Untuk mengetahui bagaimana arloji itu bekerja, kita harus mencari tahu apa saja penyebab dibelakangnya seperti ondernil-ondernil yang membentuk arloji itu sampai terjadinya demikian. Bagi Hobbes, “satu onderdil manusia yang membuat ia bergerak adalah kebutuhan untuk mempertahankan diri (natural necessity of self-preservation) atau ketakutan akan kehilangan nyawanya”.
Hans Fink dalam bukunya, filsafat Sosial juga memaparkan bahwa hak alami untuk mempertahankan dirimenurut Hobbes adalah hak yang dimiliki setiap manusia bahkan sekalipuntanpa kehadiran lembaga sosial manusia seperti pemerintahan, partai politik atau agama.Meskipun secara alami manusia anti sosial; setiap manusia menjadi musuh satu sama lain, namun Hobbes meyakini semua manusia itu tetap setara. Dimana letak kesetaraanya? Kesetaraan terletak bilamana individu Hobbesian membiarkan orang lain menentukan pilihannya masing-masing. Individu yang berwatak serakah, ambisius, dan pada dasarnya tidak taat harusmelakukan kontrak sosial demi mempertahankan level kesederajaatan ini. Fungsi kontrak sosial yaitu supaya kebebasan manusia mendapat intervensi dari penguasa yang memonitor tindakan setiap individu. Penguasa bukan berarti dia bertindak sewenang-wenang (walaupun itu bisa juga dipraktekan). Dia harus adil dan kekuasaanya itu akan bertanggungjawab pada Allah. Hanya Allahlah yang berkuasa atas penguasa itu.
Masyarakat Sebagai Gelanggang Laga
Manusia selalu menenempatkan orang lain sebagi rivalnya. Kemunculan seorang secara tiba-tiba dihadapan kita bisa saja ditafsir negatif seperti pencuri atau perampok, meskipun kecurigaan kita belum tentu benar maka kita harus selalu waspada. Manusia Hobbesian sangat kontradiktif, disatu sisi ia manusia bebas tetapi disisi lain ia memiliki harapan sekaligus rasa takut. Ia memiliki ambisi sekaligus memiliki kecemasan bahwa suatu saat ambisinya itu dirampas orang lain.
Dalam buku On The Citizen, Hobbes mengatakan “by nature, then, we are not looking for friends but for honour and adventage from them, maksudnya ialah karena kodrat manusia demikian, kita tidak mencari pertemanan dalam setiap kali pertemuan dengan orang lain tetapi mencari kehormatan dan keuntungan dari setiap perjumpaan itu. Misalkan saja, kita memberikan kesan siapa diri kita dihadapan orang lain dari cara pemilihan kata kita berbicara, cara penampilan, fashion dan sebagainya. Situasi perang mencari kepentingan diri sendiri ini sudah bermula dalam organisi terkecil masyarakat seperti keluarga. Misalnya, anak-anak dalam keluarga akan saling merebut kasih sayang orangtuanya (rival sibling)atau kebutuhan mencari rasa aman, rasa enak dan sebagainya dengan ekspresi-ekspresi atau tindakan tertentu seperti menangis.
Dari epistemologi dan kodrat manusia Hobbesian, kita bertanya bagaimana mungkin manusia itu bisa hidup bermasyarakat? Bagaimana membentuk tatanan atau sistem sosial? Sejauhmana kebebasan seseorang tidak bersinggungan dengan kebebasan manusia lain di sekitarnya sehingga tidak menimbulkan konflik?
Aristoteles menyatakan bahwa manusia itu adalah mahluk ens sociale dan zon politicon (mahluk sosial dan politik). Manusia hidup dalam polis-polis yang memiliki budaya dan sistem sosial yang mengatur polis. Hal ini juga ditekankan oleh gurunya, Platon, bahwa masyarakat tanpa pemimpin tak bisa dibayangkan bagaimana jadinya masyarakat itu. Bila Aristoteles dan Plato, menghendaki pemimpin polis seorang yang arif dan bijaksana (Aristokrasi) dan menciptakan masyarakat yang damai, Hobbes berbeda berbeda sama sekali. Bagi Hobbes ekonomi dan keberlansungan hidup manusia adalah persoalan pertama.
Pemenuhan kebutuhan fisiologis yang terpenting itu terjadi dalam masyarakat yang dipenuhi oleh manusia yang dipenuhi ambisi dan nafsu. Masyarakat nampaknya sebuah arena atau gelanggang laga, pertunjukan Archiles dan Hektor”. Di sana semua orang adalah ‘petarung sejati atas nama kepentingan dirinya sendiri’. Mereka bersaing dan bahkan tanpa belaskasih membunuh satu sama lain. Lalu bagaimana para petarung itu bisa tinggal bersama dalam lingkup masyarakat atau negara? Mencermati celah kelemahan pemikirannya, Hobbes tentu saja memikirkan konsekuensinya.
Hobbes paham dengan persoalan ini. Menurut Hobbes, setiap “pribadi dapat melestarikan keberlansungan hidupnya bila masing-masing di antara mereka terlibat dalam kontrak untuk meninggalkan haknya menyakiti orang lain. Demi tujuan itu, maka perlu ada kekuasaan yang memastikan bahwa siapapun yang melanggar kontrak seperti menyakiti orang lain, ia akan diberi sangsi”. Kekuatan yang mengatasi manusia “penafsu” Hobbesian adalah kekuasaan absolut yang merupakan hasil kontrak setiap individu. Kekuasaan itu disebut Leviatan.Manusia yang penuh dengan nafsu itu hanya dapat hidup bersama bila ada semacam kehadiran pihak ketiga yang menakutinya. Manusia harus diancam oleh kekuatan yang kuat diluar dirinya sehingga nafsu-nafsu negatif yang menghancurkan atau menyakiti sesama itu bisa dikendalikan, kehidupan bersama pun menjadi mungkin.
Leviatan berpredikat layaknya seperti polisi dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai polisi ia memiliki tanggungjawab dalam menegakkan supremasinya dan keadialan demi mencegah individu-individu yang saling bersaing secara tidak sehat. Namun Leviatan tidak bertugas memperhatikan kesejahteraan dan mengawasi harta kekayaan warga masyarakatnya. Sifat hukumnya juga seperti memberikan efek rasa takut kepada manusia yang nafsunyaberkobar-kobar,siapa yang menyakiti orang lain akan lebih disakiti.
Pertanyaan kita pada Hobbes ialahsetiap manusia muncul ke dunia ini melalui orang lain dan fakta sosial yang berbeda-beda, lalu apakah kita menyangkal kenyataan demikian? Bagi Hobbes, masyarakat hanyalah semacam area perkumpulan orang-orang yang memiliki ide-ide yang berbeda, kebutuhan ekonomi, cara berpikir yang ujung-ujungnya demi kebutuhan hidup orang itu sendiri. Orang berpikir tentang masyarakat bukan suatu sikap altruis, filantropi, atau murni untuk kemaslahatan banyak orang, tetapi setiap orang yang berjuang memperhatikan masyarakat, politik dan ekonominya, pertama-tama bermuara pada kekuasaan. Kepentingan umum hanyalah medium untuk mencapai hasratnya menjadi penguasa. Menjadi penguasa berarti memenangkan persaingan dengan seteru-seterunya. Dengan kemenangan ini, seseorang memiliki hak priviledge. Apalagi dengan sistem Hobbes, Leviatan, pasti mendapat keuntungan dari statusnya.
Rivalitas yang terjadi dalam masyarakat sejatinya lumrah dan memang demikian kodrat manusia. Manusia seperti halnya dengan mesin-mesin yang memiliki fungsi dalam dirinya sendiri. Entah apa penyebabnya manusia itu berkumpul, berbudaya menciptakan simbol dan bahasa bagi kelompoknya, bagi Hobbes itu tidak penting. Yang terpenting adalah bagaimana manusia itu memanfaatkan sumber daya alam yang terbatas bagi hidupnya. Manusia mencapai puncak kebahagian, prestasi bukan atas kerjasama atau sokongan dari orang lain, tetapi atas pembuktian dirinya akan aksinya dalam berkompetisi.
Namun, manusia yang tinggal dalam masyarakat itu tak menjamin bahwa mereka aman dari ancaman pembunuhan. Setiap orang menaruh alarm (peringatan) dalam pikiranya, bahwa sewaktu-waktu ia bisa diserang, dibunuh ataupun dirampas haknya. Demikian juga, orang kaya selalu bersiap siaga, siapa tahu sewaktu-waktu pencuri atau perampok merampas kekayaanya. Sebab bagi Hobbes, hak alami ialah hak setiap orang dimana mereka melakukan apapun untuk menjamin keberlansungan hidup mereka.Gagasan tentang hak alami mengarah pada diciptakanya hukum alami, yang mengarahkan manusia memasang batas-batas terhadap hak alaminya untuk melakukan apapun yang mereka kehendaki.
Menurut Hobbes juga masyarakat itu adalah “perangkat artifisial yang dirancang untuk meningkatkan kepentingan fundamental semua orang, suatu mekanisme yang berjalan berkat interaksi antara bagian-bagian individual yang pada dasarnya bersifat mandiri. Melalu mekanisme yang ditetapkan bersama hidup bersama dan kebebasan setiap orangpun dapat diatur supaya tidak saling menyakiti satu sama lain.
Relevansinya dengan Persoalan Korupsi
Perilaku korupsi merupakan bentuk pengingkaran jati diri sosial seseorang terhadap masyarakat. Para koruptor melihat orang lain sebagai musuh yang harus ditakluk dan dikuasi. Salah satu cara menguasai orang lain adalah peningkatan kelas sosial dan penguatan ekonomi, apapun caranya karena kodrat manusia adalah mahluk libidal dan masyarakat hanyalah arena kompetisi abadi. Hal ini selaras dengan kecenderungan manusia hobbesian yang egois.
Namun mengapa terjadi korupsi sistemik? Setiap orang memiliki kecendrungan dari dalam dirinya untuk memperkaya diri. Hal ini terwujud jika kondisi dan situasi memungkinkan. Supaya situasi dan kondisi ini tidak mungkin terjadinya perwujudan kecenderungan nafsu manusia seperti korupsi maka sistem harus berfungsi optimal. Sistem itu merupakan mekanisme dari perwujudan kontrak sosial. Maka,apabila sistem benar-benar berada ditengah-tengah untuk menegakan keadilan maka kecendrungan nafsu manusia terkendali.
Selain itu levitasan atau hukum harus di tegakkan. Korupsi sangat terasa berpengaruh pada sendi-sendi kehidupan negara ini. Kemiskinan, kurangnya akses masyarakat pada fasilitas pendidikan, tidak efektifnya pelayanan publik, perlambatan pembangunan (tetapi sebaliknya sumber daya alam tetap laju terkuras), dll disebabkan oleh tindakan korupsi tersebut. Sayangnya dalam situasi yang demikian sang leviatan, hukum runtuh. Ia tidak menunjukan supremasinya untuk menegakan keadilan. Leviatan cendrung memberi keringanan pada para koruptor sehingga mengkondisikan para koruptor untuk bebas berkorupsi. Leviatan menjadi bencong dihadapan para koruptor. Maka tidak ada cara lain untuk mengekang kecendrungan para pejabat kita ini selain menngfungsikan hukum secara tepat dan efektif sehingga menimbulkan efek jera pada para koruptor.
Thomas Hobbes seorang Filsuf Inggris (1588-1679). Sangat berminat pada masalah-masalah sosial. Ia belajar di unversitas Oxford. Karya-karyanya diantaranya: De Cive (1642), De Homine (1658), Elementa Philosophiae : De Corpore(1655).
Hardiman, Budi. F. 2011. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern : Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta : Erlangga, hlm. 59.
Ibid, hlm 60
ibid
ibid
Simon Petrus L. Tjahjadi,. Petualangan Intelektual Konfrontasi Dengan Para Filsuf dari Jaman Yunani Hingga Jaman Modern (ed. 5). Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 229
Tjahjadi, hlm. 230
Hans Fink, Social Philosophy. (Sigit Djatmiko, terj). London : Methuen & Co.Ltd Fink, 1981, hlm. 49
Richard Tuck & Silverthorne (eds). On The Citizen. New York: Cambridge University Press. 1998
Tuck and Siverthorne, 1998, p. 22
Fink, hlm. 51