Dua dekade lebih telah berlalu sejak ribuan mahasiswa turun ke jalan, memadati jantung ibu kota dengan satu tuntutan yang menggema: reformasi. Gelombang aksi yang awalnya terlihat sebagai unjuk rasa biasa, perlahan menjelma menjadi arus besar yang mengubah wajah politik Indonesia secara fundamental.
Gerakan Reformasi 1998 bukan lahir tanpa sebab. Di baliknya, bertumpuk persoalan ekonomi, politik, dan sosial yang menggerogoti kehidupan rakyat. Krisis moneter yang melanda Asia pada 1997 menyeret Indonesia ke dalam jurang resesi. Nilai rupiah terjun bebas, harga kebutuhan pokok melonjak, dan pengangguran meningkat tajam. Namun, krisis ekonomi hanya menjadi pemicu; akar persoalan terletak pada sistem kekuasaan yang terpusat dan otoriter selama 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto.
Dalam situasi inilah, mahasiswa menjadi aktor utama. Mereka turun ke jalan membawa semangat perubahan, menuntut diakhirinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mengakar dalam pemerintahan Orde Baru. Dari kampus ke Senayan, suara mereka menggema: "Turunkan Soeharto!"
Puncak gerakan terjadi pada 12 Mei 1998. Dalam aksi damai di depan kampus Universitas Trisakti, empat mahasiswa tewas tertembak oleh aparat keamanan. Insiden ini memicu gelombang kemarahan publik yang tak terbendung. Unjuk rasa membesar di berbagai kota. Ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR, menolak pulang sebelum tuntutan mereka terpenuhi.
Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, dan digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie. Tangis haru dan sorak kemenangan pecah di berbagai sudut negeri. Indonesia resmi memasuki era reformasi.
Reformasi membawa sejumlah perubahan penting: pemilu yang lebih demokratis, kebebasan pers, pembatasan masa jabatan presiden, serta lahirnya lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski begitu, tak sedikit yang menilai bahwa cita-cita reformasi belum sepenuhnya tercapai.
"Masih banyak pekerjaan rumah. Praktik oligarki politik, politik uang, dan penegakan hukum yang tebang pilih masih terjadi," ujar Dr. Ratna Kartika, pengamat politik dari LIPI.
Kini, generasi baru menikmati ruang kebebasan yang dahulu diperjuangkan dengan darah dan air mata. Namun, sejarah juga mengingatkan: demokrasi tidak datang sekali jadi. Ia harus terus dirawat dan dipertahankan. Kini, suara-suara mahasiswa kembali terdengar mengkritik kebijakan, menolak UU yang dinilai merugikan rakyat, atau sekedar mengingatkan bahwa demokrasi bukan hadiah melainkan hasil perjuangan.
Gerakan Reformasi 1998 bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah penanda bahwa kekuatan rakyat, jika bersatu, mampu mengubah arah bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI