Mohon tunggu...
Tan Malako
Tan Malako Mohon Tunggu... Penganggur

Kaum rebahan. Suka bakso dan mie ayam.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komedi 17 Agustus: Republik dalam Irama Pinggul

18 Agustus 2025   11:33 Diperbarui: 18 Agustus 2025   11:33 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengibaran bendera merah putih sesaat setelah pembacaan teks Proklamasi (Kredit: Mazdarwan/Pinterest) 

Ada yang menggelitik setiap kali bulan Agustus tiba. Halaman Istana Negara, yang biasanya dipenuhi oleh formalisme negara dengan segala liturgi protokoler, kini mendadak menjelma panggung hiburan. Bendera merah putih yang naik perlahan ke angkasa disambut dengan lagu kebangsaan yang syahdu, tetapi tak lama setelah itu, dentuman musik populer mulai mengambil alih udara. Kamera televisi beralih dari wajah serius para pejabat ke tubuh-tubuh yang, entah dengan sukarela atau sekadar keterpaksaan, mulai bergoyang mengikuti irama. Joget, yang dulunya menjadi properti rakyat di jalanan dan lapangan desa, kini menempati pusat gravitasi simbolik negara.

Fenomena ini tentu tidak lahir dari ruang kosong. Ia adalah hasil evolusi panjang dalam sejarah tubuh bangsa. Di masa awal kemerdekaan, upacara 17 Agustus ditampilkan sebagai ritual penuh wibawa. Soekarno memosisikan tubuh negara sebagai tubuh revolusioner: tegang, gagah, penuh tenaga historis. Tak ada ruang untuk goyangan yang bisa dianggap sepele. Kemerdekaan adalah sakralitas, bukan pesta. Tubuh para pemimpin harus menjadi patung hidup yang menyalurkan aura kekuasaan. Joget hanya mungkin terjadi di kampung halaman setelah upacara usai, diiringi gamelan atau dangdut, bukan di halaman istana.

Kemudian datang Orde Baru, yang mengeras seperti beton. Soeharto memaku upacara menjadi barisan batu. Tidak ada irama selain langkah kaki pasukan dan suara komando. Tubuh pejabat dilatih untuk menahan diri dari segala macam spontanitas. Dalam ruang itu, joget bukan sekadar tidak pantas, ia adalah kejahatan simbolik. Sebuah gerakan pinggul yang keliru bisa dibaca sebagai tanda subversif. Maka tubuh negara benar-benar membeku. Joget hanya boleh bernafas di gang sempit, dalam lomba tarik tambang dan panjat pinang, jauh dari mata penguasa.

Reformasi membawa angin baru, tetapi angin itu masih berhembus pelan. SBY menghadirkan nuansa musik orkestra, pembacaan puisi, dan simbol budaya, namun tetap menjaga keseriusan. Tubuh negara mulai melunak, tetapi tidak pernah benar-benar menari. Upacara tetap terasa berat, hanya saja kini dihiasi selapis kesan romantis. Demokrasi memberi ruang untuk bicara, namun tubuh pejabat masih belum diperbolehkan hanyut dalam irama rakyat.

Jokowi mengubah semuanya. Ia membuka pintu istana bagi musik dangdut, busana adat, hingga komedi ringan. Upacara yang dulu kaku berubah menjadi semacam festival televisi. Setelah bendera naik, musik populer berdentum, penyanyi tampil, dan kamera mencari wajah-wajah pejabat yang tergoda untuk ikut bergoyang. Tangan mulai melambai, kepala mengangguk, pinggul—meski kaku—ikut berusaha mengikuti alur. Awalnya tampak kikuk, tetapi kemudian menjadi kebiasaan. Joget masuk ke dalam protokol tak tertulis: jika kau tidak ikut bergerak, kau akan tampak asing, bahkan mungkin dianggap tidak selaras dengan semangat zaman.

Pada titik inilah, joget beralih status dari hiburan rakyat menjadi bahasa resmi negara. Tubuh pejabat yang dahulu disakralkan kini dipertontonkan sebagai tubuh yang bisa dilenturkan. Tetapi lentur di sini tidak lahir dari kebebasan, melainkan dari tuntutan citra. Negara harus terlihat dekat dengan rakyat, dan kedekatan itu dipertunjukkan bukan dengan kebijakan yang menyejahterakan, melainkan dengan gerakan pinggul di hadapan kamera. Politik tubuh bergeser: yang penting bukan apa yang dikerjakan tangan negara, melainkan bagaimana tangan itu melambai di panggung.

Fenomena ini kembali dipentaskan pada HUT RI ke-80 kemarin (17 Agustus 2026), Presiden Prabowo yang selama ini dikenal keras, ikut bergoyang mengikuti lagu populer. Televisi menayangkan momen itu berulang-ulang: seorang jenderal yang dahulu berwajah garang kini tersenyum, melambai, bahkan sedikit menggerakkan pinggul. Para pejabat lain pun ikut, seolah tidak ada pilihan selain mengikuti arus. Dari layar kaca, terlihat seperti pesta bersama. Namun di balik itu, ada nuansa keterpaksaan. Tubuh-tubuh itu bergerak seperti boneka tali, lebih karena takut terlihat kaku daripada benar-benar terhanyut dalam irama.

Joget di istana adalah komedi yang serius. Ia lucu bagi penonton, tetapi serius bagi politik. Ia berfungsi sebagai tirai tipis yang menutupi kenyataan pahit. Rakyat menonton pejabat menari, dan sejenak lupa pada harga pangan yang melonjak, utang negara yang menumpuk, atau nilai tukar rupiah yang melemah lebih dari empat juta kali lipat sejak upacara kemerdekaan pertama kali diselenggarakan. Joget menjadi narkotika visual: murah, menyenangkan, dan efektif mengalihkan perhatian. Nasionalisme yang dulu lahir dari pidato panjang kini dikemas dalam video singkat berdurasi 30 detik yang viral di media sosial.

Namun justru di sinilah letak kekonyolan sekaligus kepahitan bangsa ini. Betapa mudahnya tubuh negara diubah dari patung sakral menjadi badut festival. Betapa cepatnya pergeseran dari sakralitas ke kelucuan. Sejarah bangsa, yang dulu ditulis dengan darah dan air mata, kini dikaligrafikan dengan keringat di ketiak baju batik serta tawa penonton terhadap pejabat yang salah langkah. Jika dulu rakyat dipaksa hormat melalui kekerasan, kini rakyat diarahkan tertawa melalui hiburan. Kedua-duanya adalah bentuk pengendalian, hanya saja dengan rasa yang berbeda.

Apakah ini kemajuan atau kemunduran? Mungkin keduanya sekaligus. Di satu sisi, ada kelegaan karena tubuh negara tidak lagi terlalu kaku. Di sisi lain, ada kekecewaan karena kelonggaran itu tidak benar-benar bermakna, melainkan sekadar kosmetik. Joget pejabat tidak menandakan kebebasan, melainkan kepatuhan pada tuntutan citra. Mereka menari bukan karena ingin, tetapi karena takut tampak tidak sejalan. Ancaman itu tidak pernah diucapkan, tetapi semua merasakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun