Namun tentu saja, tidak semua berjalan mulus. Aparat lokal mulai curiga. “Apakah ini sekte?” tanya seorang wijkagent (polisi lingkungan) yang bingung melihat antrean warga belajar huruf Arab. Mereka pun mengirim religieadviseurs (penyuluh agama negara) dan secularisme-experts untuk memantau. Tapi para kiai sudah siap. Mereka membuka forum pluriforme dialoog, dengan moderator lulusan pesantren yang fasih lima bahasa dan empat dialek postmodernisme.
Saat wawancara dengan media lokal, seorang kiai menjelaskan: “Kami bukan ingin mengganti budaya. Kami hanya menawarkan spirituele opties lain, seperti IKEA menawarkan banyak model rak.” Jawaban itu viral, disukai ribuan orang, dan membuat seorang ateis di Amsterdam merenung selama seminggu penuh.
Lama-kelamaan, kehadiran para kiai tidak lagi dianggap asing. Mereka menjadi bagian dari lanskap desa—seperti kincir angin, keju tua, dan sapi-sapi pemikir. Anak-anak kecil mulai memanggil mereka opa sorban, dan warga mulai menanyakan kapan Ramadan vasten dimulai karena ingin ikut merayakan keheningan bersama.
Tanpa terasa, dalam waktu enam bulan, pesantren itu tidak hanya bertahan. Ia tumbuh. Bukan hanya sebagai pusat kajian Islam, tapi sebagai ruang interculturele interactie, tempat nilai-nilai pesantren bertemu dengan dunia Eropa dalam bentuk yang lembut namun subversif. Mereka tidak menaklukkan Belanda. Mereka hanya menyusup, perlahan, dengan semangat kolonial gaya baru—berbalut sarung dan kopi tubruk.
Seorang kiai tua, yang kini dipanggil “Sheikh van Friesland”, menulis di jurnal pribadinya:
“Dulu mereka datang dengan kapal, kitab, dan mimpi menaklukkan. Kini kami datang dengan gravitasi, Google Translate, dan ingatan panjang tentang apa itu penjajahan. Kami tidak mengulangi sejarah. Kami mengeditnya.”
Dan entah karena cuaca, takdir, atau algoritma YouTube, suatu malam salju turun lebih deras dari biasanya. Para kiai duduk bersarung di tepi perapian, menatap ke luar jendela lumbung keju yang kini telah berubah menjadi pusat peradaban mikro. Seorang Kiai muda membuka laptop dan membaca komentar dari netizen Belanda: “Ik weet niet waarom, maar ik huil bij deze video van een opa die uitleg geeft over wudhu.” (Aku tak tahu kenapa, tapi aku menangis menonton video seorang kakek yang menjelaskan cara wudhu.) Para kiai tertawa kecil. Mereka tahu, sejarah sedang bergeser. Bukan oleh perang, bukan oleh traktat, tapi oleh video 60 detik dan secangkir kopi.
Maka mereka menutup malam itu dengan doa panjang, bukan lagi minta dikembalikan ke Indonesia, tapi agar sinyal internet tetap stabil dan dana kas cukup untuk beli mic baru. Sebab kini mereka tahu: jika kolonialisme dulu dimulai dari pelabuhan, infiltrasi balik ini cukup dimulai dari WiFi dan sepotong keju.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI