Mohon tunggu...
Tan Malako
Tan Malako Mohon Tunggu... Penganggur

Kaum rebahan. Suka bakso dan mie ayam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membayangkan Kiai Tanpa Indonesia (Season 2)

7 Agustus 2025   09:00 Diperbarui: 7 Agustus 2025   08:31 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Friesland Cow (Kredit: Patricia Terry/Pinterest) 

Tak ada yang tahu bagaimana itu terjadi. Suatu malam di tengah acara halaqah akbar bertema “Menjaga Tradisi di Tengah Arus Globalisasi”, tanah lapang tempat para kiai berkumpul mendadak runtuh. Sebuah sinkhole raksasa menganga seperti lubang hitam yang kelaparan, menelan puluhan kiai bersorban dan bersarung ke dalam perut bumi.

Beberapa detik kemudian, mereka terlempar—bukan ke akhirat, bukan pula ke alam barzakh, melainkan ke sebuah desa kecil di provinsi Friesland, Belanda utara. Salju turun tipis. Sapi-sapi berdiri bingung di kejauhan, menatap rombongan manusia berbusana asing yang muncul entah dari dimensi mana. Seorang kiai tua mengusap salju dari sorbannya dan berbisik pelan, “Sepertinya kita bukan di Jombang.”

Awalnya mereka panik. Tak ada warung soto, tak ada toa masjid, bahkan tak ada sinyal grup WhatsApp alumni pesantren. Tidak ada suara azan, hanya suara kerkklok (lonceng gereja) yang berdentang dari menara batu berumur ratusan tahun. Tapi para kiai tak kehilangan akal. Seperti biasa, mereka mengadakan rapat. Dihadiri oleh empat Kiai sepuh, dua belas kiai muda dan seekor domba tersesat bernama Olaf, mereka duduk melingkar di sebuah lumbung tua, bekas kaaspakhuis (gudang keju) yang aromanya cukup kuat untuk membuat siapa pun istighfar tiga kali.

Salah satu kiai muda membuka pembicaraan dengan pertanyaan eksistensial, “Ini hijrah atau nyasar, Pak Yai?” Seorang kiai senior, mantan pengasuh pesantren dan dosen terbang filsafat Islam paruh waktu, menjawab dengan tenang, “Kadang hidayah itu menyamar jadi kecelakaan geologis.”

Diskusi lalu mengarah pada rencana besar: bertahan hidup, berdakwah, dan—tentu saja—menjaga tradisi. Tapi bukan sembarang dakwah. Ini bukan saatnya ceramah umum dengan pengeras suara rakitan. Ini medan yang lain. Mereka sadar, mereka kini adalah religieuze minderheid (minoritas religius) di negeri sekuler, di tanah di mana liberalisme bukan isu, tapi sistem operasi. Maka mereka menggali kembali sejarah: bagaimana para zendeling (misionaris) datang ke Nusantara dengan senyum, sekolah gratis, dan obat cacing. Dan mereka pun tersadar—ini saatnya membalas.

“Ingat,” kata seorang kiai dengan janggut seputih salju di luar lumbung, “dulu mereka datang ke negeri kita dengan sekolah gratis, obat cacing, dan janji surga dalam brosur warna-warni. Sekarang giliran kita.”
“Kita dirikan multiculturele pesantren (pesantren multikultural), lengkap dengan barista bersarung dan podcast tafsir dalam bahasa Belanda. Kita ajarkan mereka ngaji—pelan-pelan, sambil yoga.”
“Tak perlu paksa syahadat. Cukup buat mereka ragu pada sekularisme. Selebihnya biar santri TikTok yang bergerak.”

Rencana itu kemudian diberi nama sandi: Omgekeerde Infiltratie 2.0—Reverse Infiltrasi. Sebuah strategi zendelingstijl terugmissie (misi balik bergaya misionaris), halus dan penuh estetika. Mereka memulai dari hal kecil: membuka halal kookcursus untuk para ibu lokal, mengajarkan resep rendang sambil menyelipkan kisah Sunan Bonang. Para kiai belajar membuat konten YouTube dengan intro yang ramah algoritma. Mereka menyulap lumbung keju menjadi gemeenschapsruimte (ruang komunitas), lengkap dengan musholla beraroma keju Edam dan mihrab menghadap kiblat dengan bantuan Google Maps dan ijtihad darurat.

Anak-anak muda Belanda yang awalnya penasaran kini mulai rutin datang. Mereka menyebut tempat itu Huis van Licht (House of Light), meski beberapa warga lebih suka menyebutnya het mysterieuze magazijn met mannen in jurken (gudang misterius berisi lelaki berjubah). Tapi para kiai tak gentar. Mereka tahu sejarah ada di pihak mereka. Bukankah dulu missiescholen (sekolah-sekolah misi) itu juga awalnya cuma rumah biasa dengan papan nama manis?

Yang menarik, dalam waktu tiga bulan, para kiai berhasil membentuk jaringan dakwah berbasis kultural—tanpa perlu menyebut kata “dakwah”. Mereka menggelar kajian yang dikemas sebagai interreligieus spiritueel reflectiekanaal (forum refleksi spiritual antaragama), di mana tafsir surat Al-Kahfi berdampingan dengan kutipan Rumi, Kierkegaard, dan musik ambient. Beberapa warga desa yang sebelumnya skeptis mulai rutin datang, awalnya karena kopi hitam gratis), lalu pelan-pelan karena merasa “ada yang hangat di sini.”

Kiai muda mulai diundang ke culturele festivals, di mana ia membacakan syair-syair sufistik sambil memainkan gamelan. Seorang kiai paruh baya menjadi kolumnis tetap di dorpskrant (koran desa), menulis tentang “Buurtleven volgens een filosoof uit het Oosten” (kehidupan bertetangga menurut seorang filsuf dari Timur).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun