Mohon tunggu...
Tan Malako
Tan Malako Mohon Tunggu... Penganggur

Kaum rebahan. Suka bakso dan mie ayam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dunia dan Realitas yang Ditelan Kode

4 Agustus 2025   11:54 Diperbarui: 4 Agustus 2025   11:54 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Welcome to Reality (Sumber: Pinterest) 

Dunia bukan komunitas netral. Ia adalah sistem distribusi nilai. Dan ketika nilai-nilai tersebut tidak diverifikasi secara epistemologis dan teologis, maka kita berhadapan dengan kolonialisme budaya tahap lanjut. Dunia adalah misi—dan kita semua adalah ladangnya.

Jika masyarakat tidak waspada, maka akan terjadi proses delegitimasi sistem kepercayaan lama. Tradisi dianggap kolot, nilai agama dianggap membatasi, dan mereka yang memegang teguh keyakinan dianggap sebagai warga kelas dua yang tidak relevan dengan zaman. Inilah fase akhir dari dunia sebagai inkuisisi sosial: ketika nilai lama dimusuhi bukan oleh musuhnya, tapi oleh anak-anaknya sendiri yang telah sepenuhnya “mengerti dunia.”

Yang lebih tragis, sebagian dari mereka bahkan tidak sadar bahwa mereka telah berpindah iman—bukan secara administratif, tetapi secara eksistensial. Mereka tetap mengaku Muslim, tetap shalat, tetap berpuasa, dan bahkan tampak lebih rajin dari orang kebanyakan. Namun sistem nilai yang mereka yakini, narasi yang mereka wariskan, dan ideologi yang mereka bela, sepenuhnya berasal dari doktrin yang asing: berasal dari tubuh pengetahuan yang dirancang bukan untuk memperkuat iman, melainkan untuk mengikisnya dari dalam. Tanpa sadar, banyak dari mereka kini memperjuangkan agenda yang sejatinya bertentangan dengan keyakinan asalnya—agenda misi yang dibungkus dengan bahasa inklusivitas, kemajuan, atau bahkan moderasi.

Mereka adalah pendeta dengan gelar sarjana pendidikan Islam. Biarawati dengan busana Muslimah lengkap: hijab syar’i, bahkan kadang cadar, tetapi setiap langkahnya diarahkan oleh kurikulum yang disusun oleh institusi asing. Mereka adalah pastur yang mengenakan aksesori keislaman—tasbih, peci, sorban—bukan untuk mengamalkan zikir, tetapi untuk menunjukkan bahwa identitas bisa dibungkus dan dijual ulang sebagai produk. Mereka tidak mengubah identitas secara formal, tapi secara nilai dan tujuan, mereka telah bergeser total. 

Maka dalam konteks ini, resistensi bukan berarti menutup diri dari zaman. Tapi justru menjadi subjek sadar yang bisa memilih nilai mana yang sesuai dengan akal, hati, dan iman. Dunia harus dibaca secara kritis. Dan yang terpenting: jangan sampai kita paham “dunia”, tapi kehilangan dunia yang sesungguhnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun