Mohon tunggu...
Analisis Pilihan

Hasil Pilkada Serentak, Pelajaran untuk Jokowi

3 Juli 2018   08:05 Diperbarui: 3 Juli 2018   08:49 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Source: Tribunnews)

Tahun depan, Pilpres akan digelar berbarengan dengan Pemilihan Legislatif. Kita tahu, Undang-Undang Pemilu mensyaratkan adanya ambang batas parlemen bagi partai yang hendak mencalonkan presiden dan wakil presiden. Undang-undang mengatakan, partai atau koalisi partai harus memperoleh 25% suara sah nasional atau 20 % kursi di DPR. Karena Pilpres dan Pileg tahun ini digelar serentak, maka yang dijadikan acuan adalah hasil Pileg 2014.

Jokowi belum berhasil memenangkan hati rakyat Jawa Barat.

Ini artinya, kemungkinan re-match antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo sangat mungkin terjadi. Atau kalaupun Gerindra dan PKS rela mencalonkan Amien Rais, calon yang bertarung kemungkinan tak lebih dari dua.

Bisa saja muncul calon ketiga jika Demokrat dan PAN serta PKB bersepakat untuk memunculkannya, namun sampai saat ini peluangnya masih sangat kecil. Peluang koalisi ketiga partai tersebut sempat terlihat membesar tatkala elite PKB mengisyaratkan ancaman akan keluar dari koalisi jika Jokowi tak memilih Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebagai cawapres. Namun, ancaman itu belum terlihat meyakinkan sampai sekarang.

Yang semakin tidak dapat tempat dari perkembangan politik terakhir justru Gatot Nurmantyo. Dari kubu oposisi, tak ada tanda-tanda bahwa mereka rela menyerahkan tiket pencapresan kepada orang di luar partai. PAN malah semangat mencalonkan Amien Rais. Gerindra bersikukuh mendorong Prabowo. Sementara Partai Demokrat fokus mendongkrak popularitas Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Yang semakin tidak dapat tempat dari perkembangan politik terakhir justru Gatot Nurmantyo

Memang, keseriusan Amien Rais menjadi capres masih patut diragukan. Kita belum melihat ada gerakan apa pun terkait pencapresannya. Bukan tak mungkin, aksi Amien Rais hanya pengecoh saja. Bisa jadi, dia akan mundur di tengah jalan pencalonan atau di detik-detik akhir. Kita punya preseden sejarah ketika Yusril Ihza Mahendra mundur di detik-detik terakhir Pilpres 1999 yang dimenangkan Gus Dur.

Kalaupun Amien Rais mundur, rasanya Gatot akan sulit diterima pihak oposisi. Dia tak cocok berpasangan dengan Prabowo Subianto karena sama-sama berlatar belakang militer. Bagaimana jika Jokowi memilih Gatot? Rasanya peluangnya juga sangat kecil dan bisa jadi blunder besar. 

Pertama, jangan lupa bahwa Jokowi memberhentikan Gatot sebelum masa pensiunnya karena terbukti secara terbuka seperti tak takut membangkang kepada Presiden. Kedua, dia lebih mencitrakan diri dekat dengan kelompok islam garis keras ketimbang moderat. 

Keempat, Jokowi membutuhkan pendamping dari kelompok islam, dan stoknya cukup melimpah. Cak Imin adalah salah satu kandidat yang popularitasnya terus naik dan juga didukung banyak ulama. Masih ada pula Chairul Tanjung yang selain dekat dengan semua kelompok juga piawai dalam bidang ekonomi.

Kalaupun Amien Rais mundur, rasanya Gatot akan sulit diterima pihak oposisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun