Pemuda itu berjalan menuju api, langkahnya mantap, matanya menatap lurus ke depan. Dia tahu bahwa ini adalah jalan yang harus dia tempuh, jalan yang akan membawa cahaya kembali ke desa mereka.
Dia berdiri di depan api, dan dengan suara yang lantang, dia berbicara, "Aku rela, demi matahari, demi desa kita."
Dan dengan itu, dia melompat ke dalam api, dan api itu menyala lebih terang, seolah-olah diberi kehidupan baru oleh pengorbanan pemuda itu.
Para penduduk desa berhenti menari, mereka berdiri diam, menatap api yang kini menjadi monumen pengorbanan dan keberanian.
Malam berlalu, dan ketika fajar tiba, ada keajaiban yang terjadi. Cahaya merah muda mulai menyelinap melalui celah-celah awan, seolah-olah dunia sedang bernapas kembali.
Sinar matahari yang pertama dalam waktu yang lama itu adalah seperti sentuhan lembut, menghangatkan kulit yang dingin, membangunkan jiwa yang tertidur.
Penduduk desa keluar dari rumah mereka, mata mereka terpejam, wajah mereka terangkat ke langit, menyerap setiap detik dari keajaiban yang terjadi.
Mereka menangis, mereka tertawa, mereka berpelukan, seolah-olah mereka baru saja dilahirkan kembali ke dalam dunia yang penuh warna.
 Anak-anak berlarian di lapangan, mengejar kupu-kupu yang kembali muncul, dan bunga-bunga mulai mekar, seolah-olah menyambut kembali matahari.
Di tengah lapangan, di tempat api unggun itu pernah menyala, kini ada sebuah pohon yang tumbuh. Pohon itu tinggi dan kuat, daun-daunnya hijau dan segar, seolah-olah mewakili kehidupan yang baru.
Di bawah pohon itu, ada sebuah batu, di atasnya terukir nama pemuda yang berani itu. Batu itu menjadi pengingat, bahwa keberanian dan pengorbanan adalah harga yang harus dibayar untuk cahaya dan kehidupan.