Mohon tunggu...
Tania A P
Tania A P Mohon Tunggu... Freelancer - ..

Selamat Membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Desa Matahari

3 Mei 2024   15:13 Diperbarui: 3 Mei 2024   15:16 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by dall•e

Di desa yang begitu sunyi, di mana langit selalu berwarna abu-abu, matahari telah lama menghilang. Penduduk desa, yang hatinya sejuk seperti embun pagi, hidup dalam bayang-bayang kegelapan yang tak pernah berakhir. Mereka merindukan hangatnya sinar matahari, yang seperti kenangan lama yang memudar.

Di tengah desa, ada sebuah lapangan yang luas, di mana rumput-rumput liar tumbuh tinggi, menari-nari ditiup angin yang sepi. Di sini, para penduduk desa berkumpul, wajah mereka pucat, mata mereka kosong, mencari jawaban atas hilangnya cahaya yang paling mereka cintai.

Seorang nenek tua, yang kulitnya keriput seperti tanah yang retak, berdiri di depan mereka. Dia adalah penjaga tradisi, pembawa cerita, dan dia tahu apa yang harus dilakukan. "Kita harus menghidupkan kembali api purba," katanya dengan suara yang serak, "dan menari di bawah rembulan, agar matahari kembali ke pelukan kita."

Malam itu, mereka menyiapkan api unggun yang besar, dengan kayu-kayu yang mereka kumpulkan dari hutan. Api itu menyala, memecah keheningan malam, dan asapnya mengepul ke langit, seolah-olah mencari matahari yang hilang.

Para penduduk desa mulai menari mengelilingi api, langkah mereka lambat dan berat, seakan-akan mereka menanggung beban dunia. Tarian mereka adalah doa, adalah harapan, adalah jeritan hati yang tak terdengar.

Di tengah-tengah mereka, ada mangkuk batu besar, diisi dengan ramuan yang misterius. Daun-daun yang layu, akar-akar yang kering, dan bunga-bunga yang tak lagi berwarna, semua bercampur menjadi satu.

Ketika jam menara desa berdentang, menandakan tengah malam, pemimpin desa mengambil batu kecil dan melemparkannya ke dalam api. Batu itu berputar di udara, seolah-olah ragu untuk kembali ke bumi.

Dan ketika batu itu jatuh kembali ke mangkuk, ada suara yang terdengar, suara yang menentukan nasib seseorang. "Itu aku," teriak seorang pemuda, suaranya gemetar namun penuh tekad.

Dia adalah anak petani, yang tangan-tangannya kasar karena bekerja di ladang. Dia tidak pernah takut pada kerja keras, dan sekarang, dia siap menghadapi takdirnya.

Penduduk desa lainnya menangis, meratapi keberanian pemuda itu. Mereka tahu bahwa tanpa pengorbanan, mereka semua akan tenggelam dalam keabadian tanpa cahaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun