Mohon tunggu...
Tazkia Kamila
Tazkia Kamila Mohon Tunggu... Penulis - Tami

Tazkia Kamila - XI MIPA 1 - 32 - SMAN 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Padi Milik Rakyat

30 November 2020   21:19 Diperbarui: 1 Desember 2020   12:44 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     Nama pria muda itu Hajakusuma. Politikus muda yang sedang ramai diperbincangkan berita. Ia berhasil menduduki kursi tinggi di salah satu lembaga tinggi negara yang berfungsi sebagai wakil rakyat. Semua itu berkat harta, koneksi, dan kelihaiannya dalam berbicara. Hajakusuma bertahan di dunia politik dengan paras lugu yang mampu menipu lawan bicara, dan mulut yang terlatih membisikkan janji-janji manis, serta tangan yang terbiasa menerima suapan-suapan pihak-pihak yang membutuhkan otoritasnya.

***

     Setelah selesai bertransaksi dengan Pak Ramli, Hajakusuma hanya ingin segera pulang. Rasa lelah menyelimuti seluruh tubuhnya. Ah, rasanya ia ingin berendam dan segera tidur. Namun, dikarenakan proyek baru dari Pak Ramli, ia tahu ia tidak akan bisa tidur cepat malam ini.

     Hajakusuma menatap pemandangan di luar dari kursi penumpang mobilnya. Tanpa sadar salah satu ujung bibirnya terangkat, membentuk senyum miring. Hajakusuma teringat pertama kalinya ia melakukan bisnis ini.

***

     Hujan deras mengguyur desa itu. Beruntung, Hajakusuma dan seniornya sampai sebelum hujan bertambah deras. Senior Hajakusuma mengajaknya untuk bertemu dengan pimpinan desa-desa yang ada di bawah otoritasnya. 

     Pada saat itu, Hajakusuma dengan lugu bertanya, "Pak, untuk apa kita kita ke desa-desa ini? Untuk survey?" Senior Hajakusuma tertawa terbahak-bahak dan menjawab, "Kamu kelihatan sekali masih tanduk hijau, Hajakusuma. Lihat dan pelajari yang saya lakukan nanti."

     Hajakusuma yang saat itu baru terjun ke dunia politik tidak tahu bahwa yang ia lihat nantinya akan sangat merubah hidupnya.

***


  Hajakusuma menyugar rambutnya , antara ingin menangisi atau menertawai dirinya dulu. Mau bagaimanapun perasaannya sekarang, waktu tidak bisa diputar. Biarlah, sekarang ia akan menikmati keputusannya di masa lalu.

     Hujan deras kembali mengguyur ibukota. Tidak ingin terjebak kemacetan dan ingin segera pulang, Hajakusuma memaksa supirnya untuk melewati jalan tikus dengan kecepatan tinggi. Hajakusuma merasa telinganya berdengung. Tak lama, dengungan itu hilang, digantikan bisikan-bisikan yang tidak bisa ia pahami. Namun bisikan-bisikan itu terdengar semakin keras dan mulai terdengar seperti teriakan.

     Padi milik rakyat!

     Padi milik rakyat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun