Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC]Cinta Anak Ingusan Yang Tak Sempat Terucapkan [1]

2 Oktober 2015   22:13 Diperbarui: 2 Oktober 2015   22:13 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membuka cerita cinta masa lalu yang tak sempat terucapkan.Saat usia masih belasan. Entah apa namanya.Mungkin Cinta anak ingusan.Zaman masih surat-suratan, titip salam di acara stasiun radio amatir agar tersebar dan memancar melalui cetoleh penyiar. Atau rela mengantri telephon koin ditepi jalan berwarna kuning meski harus berdiri hingga kaki kesemutan.Hanya buku diary yang menjadi pelampiasan ungkapan cinta,sayang,kangen dan deretan kata ungkapan hati layaknya karya pujangga.

Sungguh cinta itu menjadi terpendam sangat dalam. Sebatas kekaguman tanpa mampu meraih dalam dekapan. Ah,jangankan dekapan, melihat samar sosoknya pun tubuh gemetaran. Apalagi jika tidak sengaja berpapasan dan dia menyapa dengan senyuman,sungguh serasa mau pingsan. Tak sanggup menatap wajahnya,meski kadang terbayang dipelupuk mata.Inikah yang namanya cinta?

 

Dan rasa itupun seakan menuntunku, mencari akal agar aku mampu menyapanya,meski bukan dalam wujud yg sebenarnya. Demi Cinta aku melakukan penyamaran. Entah dari mana nama Adis muncul. Meski hanya lewat suara saja,aku merasa begitu bahagia. Terciptalah cerita pengagum misterius yg selalu menelepon rumah sakit dan mencari sosok perawat yang berinisial DN.

Dari telpon misterius itu aku merasakan kedekatan yg luar biasa. Dia tidak pernah tau siapa dibalik pemilik nama adis yg sebenarnya. Suaranya ramah, seolah tidak lagi memperdulikan wujud asli penggemar misteriusnya.Aku bahagia. Efek cinta  teramat luar biasa

Hingga suatu ketika,kudapati kabar bahwa DN sdh tidak lagi bekerja di rumah sakit itu. Luluh lantak perasaanku dalam kecamuk rasa ingin tahu. Bersyukur operator telpon rumah sakit meredam kecewaku dengan menyebut nama rumah sakit yg berada di sebuah kota yang berbeda.

Belum ada istilah galau waktu itu. Namun tekad untuk mengejar cinta meski hanya lewat suara aku genapkan dalam tiap doa dan usaha. Buku kuning alias yellow pages menjadi hal yg paling berjasa. Dari buku itulah aku mengetahui nomor telpon bahkan alamat lengkap. Jarak tak menjadi rintangan.

Jika sebelumnya uang logam 100 rupiah menjadi benda berharga untuk mendengarkan suara sosok dicinta melalui telepon umum koin berwarna kuning. Kali ini berhubung saluranya interlokal, Wartel alias warung telpon yg marak di tahun 2000an menjadi tempat penuh kenangan. Meski kadang bilik wartel diketuk penjaga memberi tanda untuk bergantian dengan pelanggan lain.

[caption caption="http://female.store.co.id/FLY_Buku_Diary_Anak_Creme_baju_butik_22682.html"]Ah,pernah suatu ketika nekat memakai telpon rumah di siang bolong akibat rindu dendam yang tak berkesudahan. Tidak ada monitor pencatat durasi waktu bahkan nominal rupiah layaknya di wartel. Hal itu sempat aku lakukan berturut-turut tanpa memperhitungkan segala sesuatunya. Hingga pada saatnya, tagihan telepon membengkak. Bapakpun melacak dg meminta print out panggialan keluar.

Embargo penggunakan telepon rumahpun dilakukan. Aku tak berkutik, namun tetap mencari cara agar tidak kehilangan dia yang membawa cinta. Tak ada akar rotanpun jadi. Tak bisa mendengar suara, mengirim tulisanpun tak apa.

Tetap dalam penyamaran,aku pun mengirim surat tak bertuan. Belum ada email, terlebih messanger, Sms bahkan BBM waktu itu. Mungkin sudah ada. Tapi hanya kalangan terbatas yg memakainya. Ah belum juga, saat itu teknologi alat komunikasi tercanggih berupa pager, belum ada yg lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun