Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Fiksi Kuliner] Aku Anak Penjual Getuk Singkong, Engkau Anak Pengusaha Keju

9 Juni 2016   23:52 Diperbarui: 24 Juni 2022   04:37 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gethuk Singkong (sumber : www.resepmasakita.com)

Sedari subuh simbok seperti biasa tampak berbenah. Ia menata tumpukan getuk singkong dalam bakul yang terbuat dari anyaman bambu. Makanan berbahan dasar singkong itu sudah digumulinya sedari ia remaja hingga sekarang diusianya yang kian renta. Aku, anaknya sudah berkali meminta agar simbok tak lagi berjualan. Tubuhnya yang kian membungkuk karena setiap hari menggendong bakul berisi getuk-getuk itu. Aku melihat tanganya kian keriput akibat mengupas rendaman singkong, memisahkan kulit dengan bagian singkong yang berwarna putih. Kemudian ia kukus. Ketika matang dia beri warna dengan rebusan air daun suji. Jadilah getuk berwarna hijau. Tak berhenti sampai disitu, singkong matang tersebut ditumbuk dalam lesung batu dan alu kayu. Setelah halus, barulah dibentuk menjadi gulungan dengan bantuan alat yang terbuat dari besi.

Gethuk, camilan tradisional bercita rasa manis itu diolah oleh simbok. Dilengkapi dengan taburan kelapa parut yang sudah dikukus. Dari gethuk-gethuk itu pula aku kini dapat menyelesaikan sekolah dibidang pariwisata. Aku tidak malu menjadi anak penjual gethuk. Aku bahkan bangga dengan gethuk buatan simbok. Tak jarang aku meyakinkan simbok bahwa aku akan membawa setengah bagian dari gethuk yang ia buat untuk aku jual di sekolah. Dan nyata, gethuk buatan simbok laris manis terjual.

"Mbok, kula nderek sadeyan nggih" pintaku pagi itu untuk turut serta ikut berjualan

"Sekolahmu piye nduk?", simbok balik bertanya tentang sekolahku

"Pun meh rampung, kantun nenggo pengumuman lulus minggu ngajeng" aku menjawab dengan menerangkan bahwa aku sudah hampir selesai sekolah dan hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan minggu depan

Simbok diam, dia masih saja sibuk dengan perlengkapannya berjualan gethuk. Aku bergegas mandi dan memilih pakaian yang menurutku pantas. Selama ini Simbok memang tidak pernah tahu menahu tentang detail sekolahku. Dalam hidupnya, mengolah dan menjual gethuk untuk membiayai hidup dan memenuhi kewajiban menyekolahkan anak-anaknyalah yang menguasai hampir seluruh pikiran dan hari-hari yang dilaluinya.

Aku sadar betul, simbok bukanlah perempuan berpendidikan. Baginya, detail sekolah bukan hal yang harus dia pikirkan. Hanya bagaimana cara memperoleh penghasilan melalui jualan gethuk itulah bagian dari cara dia mengenal makna sekolah. "Jer Besuki Mawa Bea" demikian dia pernah berkomentar. 

Simbok itu hebat, dia tak pernah mengeluh tentang ketidaksempurnaan hidupnya. Sejak laki-laki yang menitipkan anak dalam rahimnya pergi entah kemana. Hidup baginya tak ubahnya Kepala menjadi kaki, Kaki menjadi kepala. Aku tumbuh sebagai anak semata wayang yang tak mengenal sosok bapak. Pernah suatu ketika aku bertanya perihal itu

"Mbok, Bapak mana tho?

Jawabnya singkat 

"dungakno ben bapakmu iso mlebu suwarga". Simbok hanya menyuruhku mendoakan bapak agar bisa masuk surga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun