Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Agam

14 November 2022   19:41 Diperbarui: 14 November 2022   19:58 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mak mengangguk pelan dan memberi syarat harus makan dulu biar tidak masuk angin. Cupo terlihat beberapa kali mengambil potongan ayam tangkap buatan Mak. Menu yang dipesan olehnya dihari ulang tahun. Satu Ekor ayam kampung dimasak dengan aneka bumbu rempah ala Aceh menjadi olahan ayam tangkap buatan Mak yang sudah pasti enak.

Agam kecil berusia lebih dari 4 tahun tengah asyik mengeruk pasir. Sementara Cupo, Kakak perempuan bernama Ahya Keumala menelusur bibir pantai mencari aneka cangkang kerang untuk dibawa pulang. Dua anak kecil yang dimanjakan oleh alam semesta.

Badan kecil si Agam terguncang dengan kuatnya. Suara pekikan takbir lamat-lamat dia dengar. Matanya begitu berat dia buka. Ada Suara anak-anak menangis kencang. Hempasan air membuat tubuhnya melayang diantara benda-benda yang tak ia kenal. Sementara tangannya masih memengang erat sendok yang id gunakan untuk mengeruk pasir. Sendok itu pula yang digunakan Mak untuk menyuapinya nasi gurih dan ayam tangkap.

Hanya itu sepenggal memori yang diingat. Hingga saat dia membuka mata, tak dijumpainya Abu, Mak dan Cupo. Agam Kecil tak paham apa itu Tsunami. Yang dia rasanya hanya sakit dibagian lengan. Badannya lecet-lecet dengan perban putih membalut kepalanya. Agam tak bisa bertanya ada apa dan dimana keluarganya? Matanya terus mencari sosok Abu, Mak dan Cupo diantara deretan orang-orang yang mengalami luka. Namun kosong, tak dijumpainya.

Seminggu sudah Agam dirawat di tenda darurat dengan gambar bulan sabit merah. Hampir setiap hari Agam menangis sama persis dengan beberapa anak seusianya yang terpisah dari orang tua dan keluarganya. Hanya ada banyak Teuku dan Nyak yang bergantian memeluk anak-anak saat menangis, memberi permen, coklat atau mainan.

Agam kecil kemudian dipindah ke Banda Aceh bersama teman-temanya tanpa pernah bertemu dengan keluarganya. Sebulan kemudian, Agam kecil dipertemukan dengan Mak Cek dan Ayah Ngoh yang merupakan adik dari Mak. Mereka selama ini tinggal di Medan sengaja datang menjemput Agam di pusat trauma center untuk anak-anak korban Tsunami.

Tiga minggu Agam kecil menjadi saksi dasyatnya Tsunami Aceh. Kehilangan Abu, Mak dan Cupo serta tak bisa lagi melihat labi-labi hitam. Beruntung Agam diajak pindah ke Medan di tempat sepupunya berada. Mak Cek dan Ayah Ngoh perlahan memberi penjelasan pada Agam, mengajak Agam berdoa untuk Abu, Mak dan Cupo yang telah berada di Surga.

Agam kini telah tumbuh dewasa. Dia paham akan peristiwa Tsunami Aceh yang merenggut keluarganya. Ikhlas dan masih membekas dalam ingatannya. Hari dimana Cupo berulang tahun, 26 Desember sekitar pukul 8 Pagi dia memilih kembali kehadirat Ilahi dihantarkan oleh dasyatnya Tsunami.

Dan setiap tahun di tanggal bulan dan jam yang sama, Agam akan merasakan desir angin di Pantai Lampuuk. Lamat-lamat mulutnya menyampaikan pesan kerinduan kepada Abu, Mak dan Cupo diantara debur ombak. Doa dari seorang anak yang kehilangan keluarga. Jarak membentang antara Surga dan Bumi yang kini ia tempati seorang diri.

Teriring Doa kepada korban Tsunami Aceh 2004

Alfatekhah..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun