Mohon tunggu...
Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Mohon Tunggu... Freelancer - Creativepreuner

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika SBY-AHY Tidak Turut Serta dalam "Bulan Madu"-nya Prabowo-Sandi

21 November 2018   07:35 Diperbarui: 23 November 2018   01:36 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber. Tribun Manado.co.id

Belum separuh waktu berjalan koalisi partai politik pengusung capres cawapres pada pilpres 2019 mendatang melangsungkan aktifitas bersama. Ibarat rentang waktu pasca dikawinkannya pasangan capres cawapres dari tiap kubu,dua -tiga bulan pertama masih layak disebut sebagai fase bulan madu. 

Berbeda dengan pengantin kebanyakan yg menjalani bulan madu berdua saja. Pasangan capres cawapres tentu berbulan madu dengan disertai oleh rombongan partai pendukung. Tak ayal,capres cawapres harus bersikap adil untuk melibatkan tiap partai yang tergabung dalam koalisi sebagai mitra sejajar.

Tidak bisa dihindarkan, dalam koalisi  kerap kali ada semacam perlakuan khusus kepada parpol yang tergabung didalamnya.  Beda porsi itulah yang kemudian memunculkan seakan ada  anak emas, anak bawang atau bahkan anak tiri. Begitulah yang terjadi dalam koalisi Prabowo Sandi akhir-akhir ini.

Sedari awal diumumkannya, Demokrat dengan dua tokoh lintas generasi (sebut SBY-AHY) memberikan semburat warna "abu-abu" manakala harus turut tampil mewarnai momentum politik Prabowo-Sandi. Separuh hatikah, atau tengah memendam kecewa seperti yang diungkap media baru-baru ini?.

Dalam politik ada sebuah kalimat mengungkap bahwa 1000 kawan kurang, 1 musuh lebih. Tentu, Demokrat dengan ketokohan SBY-AHY akan mampu memberi lebih dari 1000 kawan yang akan memilih Prabowo Sandi. Namun, jika kemudiaj yang ada SBY kecewa? Apa mau dikata. 1 orang kecewa bobotnya akan sama dengan 1 orang "musuh" dalam kalimat diatas.

SBY tentu bukanlah musuh bagi Prabowo. Begitu pun AHY yang digadang sebagai salah satu calon pemimpin masa depan. Sikap "negarawan" yang kerap kali ditunjukkan SBY pun AHY memiliki nilai strategis. Dimana negarawan haruslah humble dalam berpolitik. Tak menjadi musuh bagi Prabowo, bukan berarti menjadi musuh Jokowi selaku lawan Prabowo.

Sikap bijaksana SBY ini pun kemudian diterjemahkan sebagai sebuah standar nilai demokratis ala Demokrat. Tak urung, beberapa petinggi partai Demokrat menganggap memilih Prabowo-Sandi hanyalah "sunah". Boleh dikerjakan, tidak dilakukan pun tak apa. Sebut saja Gubernur Jatim, Soekarwo yang sejak awal menunjukkan kemana dia akan berlabuh pada pilpres 2019 nanti.

Entah kenapa, Prabowo -Sandi tak kunjung merangkul Demokrat dengan tokoh-tokoh potensial dalam tiap momen "bulan madu" politik mereka di beberapa daerah. Kedatangan Prabowo Sandi ke beberapa wilayah di Jawa Timur misalnya, praktis tidak menyertakan SBY atau pun AHY. padahal secara matematis, Jawa Timur menjadi lumbung suara Demokrat sejak Pileg 2014. Pun terbukti saat Pilgub 2018 yg telah lewat. Meskipun kemenangan Pilgub Jatim 2018 oleh Khofifah Emil,bukanlah berasal dari suara Demokrat unsich.

Setidaknya rekam jejak SBY selaku putra Pacitan yang masuk dalam wilayah Jawa Timur tidak bisa diremehkan begitu saja. Biar bagaimanapun pengalama  10 tahun SBY menjadi Presiden , bukanlah retorika semata. Melainkan justru Prabowo harus banyak belajar dari SBY. Itu dengan catatan, Prabowo mau berbesar hati menimba ilmu pada tokoh yang merupakan anggota koalisi pengusungnya.

Hal lain terkait dengan SBY-AHY yang kerap ditinggal oleh Prabowo adalah kharisma kepemimpinan mereka yang matang. SBY sebelum menjadi presiden , pernah menjabat sebagai menteri. Hal ini bukan berarti SBY pun menjadi kandidat menteri dalam pemerintahan yang diangan-angankan Prabowo - Sandi.

Atau jangan-jangan Prabowo minder wardegh ketika harus tampil bareng SBY,? Begitupun Sandi bersama AHY? . Lantas, siapa sebenarnya team utama pemenangan Prabowo-Sandi, jika mereka yang sudah berpengalaman dengan hasil kemenangan pilpres 2004,2009 dikesampingkan begitu saja?.

Alangkah kurang bijaksananya Prabowo-Sandi jika hanya mengandalkan Gerindra sebagai mesin politik utama. Dalam koalisi sejatinya semua punya porsi dan posisi yang sama. Namun agaknya Prabowo-Sandi terlena dengan kedekatan yang melingkupi hingga ada anggota koalisi yang mulai tercecer.

Pasca mundur teraturnya PKS dari gegap gempita suksesi Prabowo Sandi, kini giliran Demokrat yang langsung melalui tokoh sentral dalam hal ini SBY yang memberi sinyal kekecewaan. Ya, sejauh ini Gerindra-PAN seakan mendominasi langgam suksesi. Sementara PKS dan Demokrat kurang mendapatkan tempat.

Entah janji apa lagi yang tidak bisa Prabowo penuhi hingga sosok SBY merasa kecewa untuk yang kesekian kali. Sebagai politikus dan negarawan yang telah merasakan asam garam, SBY tentu memiliki alasan yang cukup kuat untuk kecewa kepada kandidat Presiden yang dari awal tampak ragu untuk mereka usung.  Keraguan ini punya perhitungan tersendiri di benak SBY yang telah menyelesaikan jenjang militer hingga mampu meraih posisi Presiden melalui partai besutannya dalam waktu singkat.

Berbeda halnya dengan Prabowo yang secara jenjang militer memang bermasalah. hingga kekalahan demi kekalahan politik dalam upaya kemunculannya sebagai sosok pemimpin dinilai gagal pada pertarungan pilpres sebelumnya.

SBY tidaklah sendiri. Ada AHY yang tengah digadang sebagai pemimpin masa depan. Jika SBY harus memilih, melatih kepemimpinan Prabowo atau AHY. Jelas jelas AHY lah yang akan diberi treatment khusus oleh SBY dalam hal kepemimpinan beserta strategi perebutannya. Jika pun SBY harus all out menjadikan Prabowo sebagai presiden Indonesia 2019, tentu harus ada komitmen yang jelas dari Prabowo terharap AHY sebagai generasi penerus.

Nah masalahnya, dalam koalisi sendiri Prabowo terkesan berat sebelah. Jangankan memberi porsi lebih untuk AHY , SBY pun seolah kurang begitu di "uwongke". Prabowo asyik dengan skenario-skenario politik jangka pendek. Bermain dalam percikan-percikan sumbu pendek seputar hoax, konter issue hasil pemerintahan Jokowi dan hal-hal yang kurang subtanstif lainnya.

Ini tentu membuat hati dan pikiran SBY selaku tokoh yang berpengalaman memenangkan pertarungan pilpres selama dua tahun berturut-turut berdesisir lirih. Hingga ungkapan-ungkapan kekecewaan pun akhirnya keluar dalam rangka memberi peringatan pada Prabowo.

Andai Prabowo mau belajar dari kemenangan SBY pada pilpres sebelumnya, tentu koalisi ini lebih komplit kesannya. Antara yang sudah berpengalaman menang, dan yang pernah berpengalaman gagal. Meski ada pepatah mengatakan, belajarlah dari kegagalan, namun untuk koalisi Prabowo-Sandi Sandi tak ada salahnya berguru pada kemenangan Demokrat yang kala itu berhasil mengantarkan SBY menjadi Presiden RI.

Andai Prabowo mau berbesar hati memberi porsi lebih untuk Demokrat dan para tokohnya, maka keseimbangan itu akan terbentuk. Ibarat dua sisi mata uang, Gerindra menjadi sisi dimana Prabowo bisa belajar dari kekalahannya di masa lampau. Sementara pada Demokrat , dalam hal ini SBY, Prabowo bisa belajar tentang sebuah jalan menuju kemenangan.

Kiranya demikian,

Sekian dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun