Sejarah adalah cermin yang sering kali kita abaikan. Padahal, di balik kisah-kisah lama tersimpan nilai kepemimpinan yang masih terasa segar untuk direnungkan. Buku Pemberontakan Nuku karya Muridan Widjojo memperlihatkan bagaimana kepemimpinan seorang tokoh lokal pada abad ke delapan belas mampu menjadi pengikat solidaritas rakyat dan memantik perlawanan terhadap kolonialisme. Melalui kisah itu, kita bisa melihat relevansi antara sistem kepemimpinan tradisional dan tantangan kepemimpinan di era modern.
Kepemimpinan zaman dahulu dibangun atas dasar kepercayaan. Seorang pemimpin bukan sekadar figur yang lahir dari aturan tertulis, melainkan sosok yang tumbuh dari kepercayaan kolektif masyarakat. Nuku, misalnya, tampil sebagai pemimpin karena keberaniannya berdiri di garis depan, kedekatannya dengan rakyat, dan kemampuannya menghidupkan nilai-nilai budaya. Ia memahami simbol tradisional dan menjadikannya perekat untuk menyatukan masyarakat yang tengah terpecah. Karisma dan keteladanan menjadi modal utama.
Berbeda dengan era modern, kepemimpinan lebih banyak bergantung pada sistem. Pemimpin lahir dari mekanisme formal seperti pemilu, prosedur birokrasi, atau mekanisme demokrasi lainnya. Dalam konteks ini, legitimasi sering diukur dari suara mayoritas atau hasil formalitas, bukan semata-mata dari kedekatan dengan rakyat. Akibatnya, sering muncul jarak yang cukup lebar antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpinnya.
Namun, jika kita membandingkan lebih dalam, ada benang merah yang tetap terjalin. Pertama, kedekatan pemimpin dengan rakyat. Pada masa lalu, seorang pemimpin seperti Nuku hadir langsung di tengah masyarakat, hidup bersama, dan memahami penderitaan mereka. Ia bukan pemimpin yang jauh, melainkan bagian dari rakyat itu sendiri. Pada era modern, meski teknologi komunikasi berkembang, banyak pemimpin justru kehilangan sentuhan kedekatan. Padahal, prinsip Nuku masih relevan: tanpa hubungan emosional dengan rakyat, kepemimpinan kehilangan rohnya.
Kedua, visi kolektif sebagai landasan perjuangan. Pemberontakan yang dipimpin Nuku bukan sekadar ambisi personal, melainkan perjuangan untuk membebaskan masyarakat dari penindasan kolonial. Visi itu bersifat menyeluruh, mengajak semua orang merasa terlibat. Sementara di era modern, tidak sedikit pemimpin yang terjebak dalam kepentingan pragmatis, jangka pendek, atau bahkan kepentingan kelompok tertentu. Padahal, sejarah sudah memberi pelajaran bahwa kepemimpinan yang kokoh hanya lahir dari tujuan kolektif, bukan dari ambisi individual.
Ketiga, penggunaan kearifan lokal sebagai modal sosial. Nuku tidak meninggalkan budaya masyarakatnya. Ia justru memanfaatkan nilai lokal untuk menyatukan rakyat, menjadikannya energi yang memperkuat perlawanan. Kearifan lokal itu menjadi simbol solidaritas. Dalam era modern, pemimpin sering kali terjebak pada teknokrasi dan melupakan nilai-nilai lokal. Padahal, menjaga identitas budaya justru bisa menjadi modal besar untuk membangun legitimasi kepemimpinan.
Perbandingan lain juga bisa kita lihat dari tantangan yang dihadapi. Pemimpin zaman dahulu berhadapan langsung dengan kolonialisme yang menindas, sedangkan pemimpin modern menghadapi tantangan yang lebih kompleks: globalisasi, krisis lingkungan, polarisasi sosial, hingga disrupsi teknologi. Meski bentuk tantangan berbeda, esensi kepemimpinan tetap sama, yakni kemampuan untuk mengarahkan rakyat melewati masa-masa sulit.
Di titik inilah relevansi sistem kepemimpinan zaman dahulu begitu terasa. Kepemimpinan tradisional memang tidak memiliki sistem birokrasi yang rapi, tetapi ia memiliki kehangatan, kedekatan, dan legitimasi moral. Sementara kepemimpinan modern memiliki sistem yang lebih tertata, tetapi sering kehilangan sentuhan emosional dengan rakyat. Maka, yang dibutuhkan adalah sintesis: memadukan sistem modern dengan nilai-nilai kepemimpinan tradisional.
Kita bisa membayangkan jika seorang pemimpin modern mampu menggabungkan dua hal ini: ia lahir dari mekanisme demokratis yang terbuka, tetapi juga merawat nilai kedekatan, visi kolektif, dan kearifan lokal. Pemimpin semacam ini bukan hanya sekadar simbol formal, melainkan juga figur yang benar-benar hidup di tengah masyarakat.
Pelajaran yang ditawarkan oleh Pemberontakan Nuku membuktikan bahwa sejarah bukanlah catatan mati. Ia adalah inspirasi yang hidup. Kepemimpinan tradisional dengan segala kesederhanaannya tetap memberi arah bagi zaman modern yang penuh kerumitan. Sebab kepemimpinan sejati, baik dahulu maupun sekarang, selalu berakar pada hal yang sama: keberanian untuk merangkul rakyat, mendengar suara mereka, dan mengarahkan langkah bersama menuju masa depan.