Mohon tunggu...
tambara boyak
tambara boyak Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Lepas

Belum lulus dalam ujian hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Emo dan Perilaku Remaja

5 Juni 2022   12:24 Diperbarui: 5 Juni 2022   12:37 1156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada era saat ini musik tidak dapat lepas dari kehidupan seseorang. Bukan hanya sebagai hiburan, musik memiliki efek yang dapat dihubungkan dengan segala sesuatu berkaitan dengan fisik, emosional, spiritual dan lain sebagainya. 

Termasuk salah satu jenis musik yang digandrungi pada periode 2000an,  musik emo merupakan cabang dari genre hardcore yang dicirikan dengan lirik dan ekspresi yang sangat emosional. 

Tak hanya hardcore, ada pula yang menganggap bahwa emo merupakan turunan dari genre rock alternatif, punk rock, dan pop punk. Dari segi lirik, lagu-lagu bergenre emo sangat emosional dan sangat pribadi. Biasanya lirik-lirik mereka bercerita tentang pengakuan, hubungan cinta yang gagal, rasa sakit, rasa tidak aman, hingga kebencian.

I know you well enough to know you'll never love me. Potongan lirik dramatis dari grup band bernama Taking Back Sunday tersebut mungkin bisa mewakili genre musik emo secara keseluruhan. 

Mulai dari Bright Eyes hingga My Chemical Romance, genre ini kerap dikritik dengan tuduhan bahwa musik emo yang cenderung muram bisa membuat pendengarnya semakin gelap. 

Kritik pedas terhadap musik emo muncul setelah terjadi tragedi mengerikan, terutama ketika ada dua remaja perempuan yang sering mendengarkan musik emo melakukan bunuh diri. 

Meski begitu hal ini tidak dimaksudkan untuk menyalahkan musik emo itu sendiri. Tidak ada genre musik atau sub-kultur yang seharusnya disalahkan atas fenomena bunuh diri di kalangan orang muda. Namun, individu-individu yang gemar menganalisa pemikiran-pemikiran negatif cenderung tidak diuntungkan ketika berinteraksi dengan kelompok sosial, karena feedback yang didapat justru memperparah perasaan dan pikiran-pikiran negatif.  

Band-band emo dikenal dengan irama lagu-lagunya yang ‘keras’ namun lirik yang melankolis.  Emo (emotional) mengadopsi fesyen, genre musik, dan gaya hidup yang spesifik. 

Emo sering dikaitkan dengan karakter penuh kesedihan, internalisasi kemarahan terhadap dunia dan diri sendiri, pasif-agresif, dan haus perhatian; namun tidak ada penelitian yang membuktikan kebasahan generalisasi ini terhadap kelompok emo. Bahkan menurut Munteanu dalam penelitiannya yang berjudul Emo phenomenon – An actual problem in adolescence, justru remaja yang menyukai musik emo cenderung sensitif, pencemas, dan memiliki kepribadian introvert. Remaja dalam fase emo merasa lebih sedih dan depresi daripada remaja yang tidak berada dalam fase ini. 

Memiliki karakteristik di atas seakan menjadi prasyarat untuk dianggap menjadi bagian dari budaya emo. Terlepas dari kepopulerannya, tidak semua remaja melalui fase ini. Lamanya fase emo dialami secara bervariasi oleh masing-masing remaja, biasanya beberapa bulan hingga ketika mereka memasuki awal usia 20an (dewasa awal).

Menurut Aaron dalam penelitiannya berjudul Posttraumatic stress following acute physical injury, trauma yang belum diselesaikan bisa menyebabkan stres pada Remaja. 

Trauma tidak selalu harus mengalami suatu kejadian ‘traumatis’ berunsur kriminal seperti persepsi masyarakat umum, namun bisa saja karena diabaikan orang tua dan mengalami perundungan secara konstan baik di lingkungan sekolah maupun di rumah juga bisa membentuk trauma. 

Menjadi emo adalah salah satu bentuk mekanisme koping pada remaja atas stres yang dialami, karena merasa tidak ada yang memahami sehingga lebih senang menyendiri–sejalan dengan pernyataan Munteanu, sebelumnya.

Namun trauma bukan satu-satunya penyebab remaja menjadi emo. Mereka mungkin tidak memiliki trauma, tapi hanya ingin untuk diterima oleh lingkungan pertemanannya sehingga mengadopsi tren ini. Remaja memiliki keinginan yang tinggi untuk menjadi bagian dari sesuatu yang ‘keren’ dan ini adalah perilaku remaja yang normal. 

Alasan lain remaja menjadi emo adalah karena ini termasuk bagian dari mencari jati diri yang menjadi tugas perkembangan usia remaja, sehingga ini menjadi sebuah fase yang harus dilewati.

Emo sama seperti grup-grup lainnya di kalangan anak muda, misalnya anak atlet, anak teater, dan sebagainya. Budaya emo tidak begitu diterima masyarakat karena impresinya yang kuat dan cenderung mengintimidasi, sehingga melahirkan miskonsepsi seperti pemakaian obat-obatan terlarang, gangguan makan, dan tindak kekerasan. Kenakalan remaja bisa terjadi di kelompok anak muda lainnya, tidak hanya di kalangan emo saja.

Perlu diketahui bahwa tidak semua remaja emo ingin melukai atau membunuh diri, hanya pada kasus yang ekstrem saja. Apabila anak menunjukkan perilaku ekstrem, sebaiknya bangun komunikasi yang sehat dan hindari menghardik mereka karena justru akan memperkeruh relasi.  

Lebih baik  menghubungi bantuan profesional, seperti konselor remaja, psikolog atau psikiater yang kompeten untuk mengatasi pergumulan anak. Layaknya menjaga dan mengobati sakit fisik, mari normalisasi mendapat bantuan dari praktisi kesehatan mental apabila dibutuhkan, terutama jika sudah menyangkut kesehatan mental .

Musik emo kadang bisa membantu seseorang, tapi juga mungkin memperparah perasaan depresi.  Interaksi sosial yang membantu seseorang memproses emosi secara membangun, hasilnya cenderung lebih positif.  Menggunakan musik emo sebagai catharsis itu membantu, tapi mengasihani diri sendiri itu tidak. 

Musik emo adalah bentuk terapi, cara mengekspresikan diri sebagaimana kita mengeluarkan rasa gundah yang ada di dalam hati. Remaja yang sedang mencari jati diri cenderung sensitif apabila mendapat komentar tentang penampilan mereka. Berikan ruang aman bagi setiap remaja untuk bereksplorasi dan mengekspresikan diri secara kreatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun