Bekasi, 8 Mei 2025 — Jawa Barat kembali menjadi potret buram dari kebijakan yang baik di atas kertas, namun pincang dalam pelaksanaan. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, melalui Surat Edaran No. 43/PK.03.04/KESRA, resmi melarang siswa SD, SMP, dan SMA yang belum memiliki SIM untuk membawa kendaraan bermotor ke sekolah. Diumumkan pada 2 Mei 2025, kebijakan ini memantik gelombang kritik dari berbagai kalangan khususnya para orangtua dan siswa tingkat SMA/SMK, termasuk juga para aktivis pendidikan.
Tujuan dari kebijakan ini memang terdengar ideal tentang keselamatan, disiplin, dan kepatuhan terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2009. Namun, implementasi di lapangan, khususnya di daerah seperti Bekasi yang masih berjuang dengan infrastruktur transportasi publik yang kurang baik, justru menimbulkan lebih banyak masalah daripada solusi.
Antara Realita dan Retorika
Di tengah jalan-jalan sempit dan wilayah perbatasan Bekasi yang minim akan transportasi umum, larangan ini terdengar seperti perintah dari menara gading. Bagaimana mungkin siswa yang rumahnya terpencil, jauh dari jangkauan angkot, bisa tepat waktu ke sekolah jika tanpa kendaraan pribadi? Ironisnya, pemerintah belum menyediakan solusi nyata, tidak ada subsidi angkutan, tidak ada bus sekolah, dan tidak ada upaya peningkatan layanan publik yang signifikan. Yang ada hanyalah larangan yang kaku dan mendadak.
Miskin Solusi, Kaya Beban
Untuk keluarga kelas pekerja di mana ayah dan ibu sama-sama bekerja, mengantar anak setiap pagi bukanlah pilihan realistis. Ojek online? Biayanya jauh lebih mahal dibanding bensin motor yang hanya butuh Rp10.000 per hari. Menggunakan sepeda setiap hari akan membuat siswa lelah dan menjadi kurang fokus disekolah, karena jaraknya yang mungkin cukup jauh, Sementara angkot, selain tidak bisa diandalkan secara jadwal, wilayah jangkauannya pun terbatas. Akibatnya, siswa terpaksa berjalan jauh atau bahkan bolos karena semakin sulit menjangkau sekolahnya.
Ketimpangan Sosial yang Diperkuat Negara
Yang lebih menyakitkan, kebijakan ini justru mempertebal jurang sosial. Anak pejabat dan pengusaha tetap nyaman diantar sopir, sementara siswa dari keluarga buruh harus berjibaku dengan waktu yang terbatas ditambah lagi beban biaya extra akan transportasi sekolah anaknya. Kedepannya mungkin akan ada siswa pelajar yang nekat menyembunyikan motornya di luar sekolah demi bisa masuk tepat waktu, membuka celah baru bagi pungutan liar, pencurian, hingga kecelakaan di luar pantauan sekolah.
Diskursus Pendidikan yang Melenceng
Lebih jauh, keputusan ini menggambarkan arah pendidikan yang semakin menyimpang dari esensi. Alih-alih memperbaiki kualitas guru, kurikulum, dan sarana belajar, pemerintah malah sibuk mengatur moda transportasi siswa. Fakta nyata dilapangan menunjukkan, masih banyak guru-guru, khususnyah sekolah negeri yang masih malas dalam mengajar, hanya memberi catatan atau tugas kelompok lalu menghilang seperti diera 90an.
Lalu, apakah larangan ini akan membentuk karakter? Atau justru menambah frustrasi?
Meniru Tanpa Meniru Solusi