"Boleh, Bu."
"Kamu masih ingin sekolah di sini?" Pertanyaan Bu Zahra begitu menusuk hati Nania. Nadanya memang lembut, tetapi terdengar tendensius.Â
"Masih, Ibu." jawab Nania singkat.Â
"Mau berjanji demi ibu untuk datang sekolah lebih giat lagi?" tanya Bu Zahra bernada tegas.Â
"Saya tidak bisa janji, Bu. Tapi akan berusaha lebih baik lagi," jawab Nania ragu.Â
"Kenapa? Ibu yakin kamu bisa berubah. Seserius apakah masalahmu, Na? Sehingga kamu begitu pesimis," desak Bu Zahra, membuat Nania gugup.Â
"Sudah hampir dua bulan, ibu saya sakit keras. Saat ini sedang menjalankan perawatan di rumah sakit. Namun belum ada perubahan apa pun. Tidak ada yang menjaga ibu, kecuali saya. Ayah sudah lama meninggal. Saya masih terlalu kecil untuk menanggung ujian seberat ini. Tuhan tidak adil!" umpatnya penuh emosi. Nania tak bisa lagi membendung air mata, terlalu dalam kesedihan yang dirasakannya.Â
"Ya Rab, jadi seperti itu keadaannya."Â
Bu Zahra sejenak terdiam sambil mengamati wajah polos gadis yang terkenal "tukang tidur" di kelasnya. Berpikir bagaimana Nania bisa menjalankan hari-hari dengan sabar, banyak yang belum tahu masalahnya. Mereka hanya berpikir buruk tentang Nania. Bahkan ia kerap tersisih.Â
"Na, kamu tidak boleh seperti itu. Jika Allah memilihmu saat ini, karena Allah tahu kamu kuat dan hebat. Jangan menyerah, Sayang. Demi ibumu," pesan Bu Zahra. Ada rinai membendung, menganak sungai di pelupuknya. Bu Zahra mencoba untuk tidak menumpahkannya di depan Nania. Bu Zahra tahu betul apa yang dirasakan Nania saat ini.Â
"Maafkan saya, Bu Zahra. Seringkali tidak masuk sekolah, karena setiap malam harus menjaga, Ibu. Otomatis ketika pagi, saya dalam keadaan mengantuk berat. Kadang bablas tertidur sampai siang hari. Sore hingga pagi, saya harus ke rumah sakit menjaga ibu kembali. Jujur saya tidak pernah mengharapkan situasi seperti ini. Saya ingin seperti dulu, bisa sekolah dengan giat. Adakah solusi untuk masalah saya, Bu Zahra?" Nania sesenggukan, sambil menundukkan wajahnya.Â