Mohon tunggu...
Imam Tamaim
Imam Tamaim Mohon Tunggu... Jurnalis - Writer. Editor. I Live in Jakarta.

Writer. Editor. I Live in Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Merenungi Kembali Hakikat Pendidikan

21 Maret 2014   08:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:40 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13953858571817177461

Mendidik berasal dari kata dasar ‘didik’, maknanya adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Oleh sebab itu, pendidikan didefinisikan sebagai sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, serta perbuatan mendidik. Secara sederhana pendidikan membutuhkan keteladanan.

Tak boleh dilupakan, bahwa hakikat pendidikan bukan melulu soal pembinaan kecerdasan intelektual, tapi juga kecerdasan moral atau akhlak. Peran sentral dalam pembinaan dua hal itu tak lain adalah pendidik. Kita menyebutnya guru, ustaz, dosen, profesor, atau sebutan-sebutan lain. Di era ini, saya tidak menyebut tidak ada, namun barangkali sudah langka sosok pendidik yang selain ia seorang intelektual, juga punya karakter keteladanan yang kuat. Pendidik yang diteladani murid-muridnya karena kekuatan moralnya.

Novel ini hadir di tengah keringnya kekuatan keteladanan itu. Bercerita dengan lugas tentang kegigihan seorang guru dalam menegakkan prinsip-prinsip pendidikan yang benar. Ditulis dengan bahasa sehari-hari, dramatis, kadang lucu, kadang juga seru.

Berlatar belakang kampung Bulusari, Sidomulyo, Lamongan sekitar tahun 1970-an. Kampung dengan mayoritas petani sawah dan tambak yang ketika itu boleh dikata masih miskin dan tertinggal. Pada saat itu, sekolah menjadi barang mewah di kampung tersebut. Mencari murid untuk memenuhi ruang kelas, hampir sama sulitnya dengan mencari guru yang mengajarnya. Dan salah seorang warga kampung yang rela menjadi guru dengan penghasilan tak seberapa itu, adalah Pak Guru Musa. Dialah tokoh utama dalam novel ini.

Musa merupakan sosok sederhana yang tak mudah tergoda oleh arus modernisme dan konsumerisme, yang dalam beberapa hal berdampak negatif  terhadap misi seorang pendidik. Semua tahu, gaji guru di kampung ketika itu tak seberapa. Oleh karena itu, jika mereka tak mampu mengendalikan hasrat konsumerisme, itu berarti bencana. Tak hanya bagi guru, tapi juga bagi dunia pendidikan itu sendiri.

Jika guru sibuk memenuhi hasrat konsumerisme, sementara gajinya tak cukup untuk itu, konsentrasinya bakal tersita untuk kegiatan di luar aktivitas mengajar. Tak heran, ada guru yang nyambi jadi tukang ojek, berdagang, menjadi makelar, dan sebagainya. Ini tentu tidak salah. Tapi ketika mengganggu aktivitas belajar mengajar pasti menjadi masalah.


Musa termasuk salah seorang guru yang memegang teguh prinsip-prinsip kesederhanaan. Ia menyadari bahwa menjadi pendidik adalah pengabdian. Totalitasnya sebagai pendidik ditunjukkan dengan keikhlasan dan kebersahajaan dalam kehidupannya sehari-hari. Karena memang langkah inilah yang harus dilakukan, jika tak ingin konsentrasinya dalam mendidik murid berantakan. Tak heran, jika kemudian Musa diangkat menjadi kepala sekolah, meski kehidupannya yang bersahaja tetap saja tidak berubah.

Adalah Pak Sarkowi, guru SDN Sidomulyo yang tak lain anak buah Musa, adalah satu dari banyak guru yang tergoda hidup komsumtif. Suatu kali, ia meminta persetujuan Musa untuk meminjam uang ke Koperasi Pegawai Negeri (KPN) untuk kredit sepeda motor. Dengan bijak Musa menolak, karena pinjaman Pak Sarkowi yang dulu saja belum lunas. Jika meminjam lagi artinya gaji Pak Sarkowi habis untuk melunasi utang ke KPN. Ini nanti akan menjadi alasan guru senior itu untuk mencari tambahan di luar jam pelajaran, atau bahkan pada saat jam pelajaran. Bagi Musa ini berisiko mengganggu proses belajar mengajar di sekolah. Murid-murid akan menjadi korban. Karena pengajuannya ditolak, Pak Sarkowi murka lalu memusuhi Musa.

Selain Pak Sarkowi, ada juga Bu Eni, guru perempuan yang sebetulnya bercita-cita menjadi karyawan kantoran semacam sektretaris, staf admisnistrasi atau apa pun. Namun, orangtuanya memaksa ia untuk menjadi guru di kampung saja. Akibatnya, Bu Eni tak bisa benar-benar total dalam mengajar. Ini masalah juga bagi Musa sebagai kepala sekolah. Belum lagi, Bu Eni yang masih muda dan cantik ini tergolong konsumtif. Ia senang memakai bedak, tas, sepatu, dan beragam asesoris perempuan yang tak murah harganya.

Suatu kali, Bu Eni juga mengajukan pinjaman ke KPN untuk membeli sepeda motor. Musa jelas tak setuju, sebab baginya sepeda motor bukan kebutuhan mendesak bagi seorang guru ketika itu. Bu Eni muntab. Ia memusuhi sang kepala sekolah yang keras memegang prinsip itu. Sialnya, Bu Guru Eni mempengaruhi guru-guru lain untuk tidak menyukai Musa sang kepala sekolah. Walhasil, bertambah banyak yang tidak suka dengan prinsip Musa. Ia terpojok.

Perjuangan Musa menegakkan prinsip-prinsip ideal dalam pendidikan amat berat, ditambah kehidupan keluarganya yang terganggu karena sang istri purik ke rumah orangtuanya sebab tak tahan hidup dengan orang yang keras memegang prinsip ini. Namun, semua itu dapat dilalui oleh Pak Guru Musa dengan sabar dan tabah. Nasihat almarhum kakaknya, Haji Husin, membuatnya senantiasa tegar menghadapi berbagai tantangan. Haji Husin mengatakan, bahwa setan akan selalu menghalangi langkah orang yang akan melakukan kebenaran. “Tanda bahwa apa yang kita lakukan benar adalah jika ada orang yang menentangnya,”  begitu pesan Haji Husin kepada Musa yang sempat akan mengundurkan diri dari jabatan kepala sekolahnya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun