Mohon tunggu...
Tajudin Buano
Tajudin Buano Mohon Tunggu... -

Pojok Kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perempuan Papalele, Tak Sekedar Berdagang

30 November 2015   08:40 Diperbarui: 30 November 2015   09:42 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari menyengat. Orang-orang berlalulalang. Ramai dengan pejalan kaki. Para tukang becak dan ojek berebut menawarkan jasa. Pintu toko-toko dibuka lebar. Desing kendaraan menambah keramaian di siang itu. Itulah pemandangan sehari-sehari dari aktiviitas perekonomian di jalan AY Patty sejak pagi hingga sore.

Duduk di depan toko diujung jalan itu, seorang ibu. Memakai kain sarung dengan balutan kebaya merah muda. Di depan tempat duduknya, terlihat sebuah dulang berwarna keabuan. Dulang itu dipakai untuk menjajakan barang dagangannya.

“Itu harganya Rp15.000 Pak,”jawab Mama Ona (70) ketika salah satu pembeli menanyakan harga satu buah Sirsak, Agustus lalu di depan toko Naga Kuning.  Mama Ona adalah peadagang tradisional asal Negeri Kilang, Kecamatan Leitimur Selatan.

 

Ia sudah berjualan sewaktu muda. Diatas trotoar jalan AY Patty dan beberapa jalan protokol lainnya. Juga berkeliling dari lorong ke lorong dengan cara keku (meletakan bakul diatas kepala –red) dulang. Yang dijual adalah buah-buahan seperti Sirsak, Langsat, lemon Cina, durian, dan rambutan serta telur ayam kampung.

Dahulu, para perempuan Papalele ini berjalan kaki menurun dan menaiki gunung untuk sampai ke Kota. Sebelum tiba, mereka sudah berjualan di kampung tetangga. Aktivitas ini diakui oma Ona, dimulai sejak subuh.”Kalau sekarang katong su nae oto (kalau sekarang, kami sudah menggunakan oto/angkot),”tambahnya.

Oma Ona tak sendiri.  Di depan toko Mulia dan toko Sulawesi, masih di jalan AY Patty, duduk beberapa orang ibu sambil menawarkan barang dagangan.  Saya menemui mereka awal Oktober. Salah satu diantara mereka, Maya Latupapua (44), mengatakan, biasanya mereka memulai aktivitas pukul 06.00 pagi hingga 18.00.

Dari Gunung, sebutan untuk desa-desa di kecamatan Leitimur Selatan, mereka mengendarai angkutan kota. Jika musim buah-buahan, mereka langsung bergerak menuju lokasi langganan masing-masing untuk berjualan. Sebaliknya, jika tak ada musim, mereka langsung ke pasar Mardika, membeli buah-buahan dan barang dagangan lainnya untuk dijual kembali.

Sebelum ke AY Patty, Maya dan beberapa perempuan Papalele berjualan keliling ke kawasan Waihaong dan Silale. Berjualan keliling dimulai pukul 10.00 hingga pukul 12.00 siang. Biasanya mereka berkelompok. Tak jarang, ada yang berjualan sendirian.

“Biasanya Tante baronda (berkeliling) dulu ke Jalan Baru, Silale dan Waihaong. Itu daerah-daerah yang menjadi langganan,”tutur Maya sambil melayani pembeli.

Selama beberapa jam di jalan AY Patty, para ibu-ibu yang sudah puluhan tahun berpapalele ini, kembali ke desa (Gunung) mereka masing-masing setelah jualan mereka habis terjual. Uang hasil penjualan hari itu, dipakai untuk membeli kebutuhan keluarga. Ikan, sayuran dan lainnya. Aktivitas ini berjalan demikan setiap hari. Dari tahun ke tahun dan  masa ke masa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun