Mohon tunggu...
taher heringuhir
taher heringuhir Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Karyawan di TV bursa efek Indonesia, IDX Channel. www.tahersaleh.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pesan dari Pendiri Detikcom

27 Januari 2016   08:57 Diperbarui: 5 Juli 2017   18:51 3477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dirasa kurang sukses, gaya Viva—seperti kita baca sekarang—pun ikut arus dan tak jauh berbeda dengan Detik. Tapi strategi ini justru berhasil mengangkat peringkat Viva ketika itu meski peringkat Alexa saat ini Viva masih di urutan 36, kurang populer dibanding situs berita baru seperti Suara.com (21), Merdeka.com (32), atau situs jurnalisme warga: Kompasiana.com (25). Situs berita lain yang juga punya peringkat bagus yakni Liputan6.com (7), Kompas.com (10), dan Okezone.com (13).

Dari sisi pekerjaan, menurut Pak Bud, tekanan jurnalis saat ini bekerja 24 jam multitasking dan inspektor gadget. Berbeda dengan era sebelum smartphone hadir, jurnalis Detik malah bermodalnya koin telepon umum ketika terjun di lapangan, melaporkan berita dari balik bilik telepon umum. “Tahun 1998, reporter bawa koin. Dapat berita langsung telpon. Jadi di kantor banyak yang sakit telinganya. Lalu berkembang, di kantor kami pakai handsfree.“

Kepraktisan dan efisiensi menjadi kunci di bisnis media daring. Itu sebabnya dengan peralihan zaman, dia justru heran mengapa ada media online yang masih mewajibkan jurnalis menyetor muka di kantor. Saat ini, 60% wartawan Detik bekerja di lapangan, tidak di kantor. Ke depan, persentasenya bisa 80% wartawan Detik tidak di kantor. “Kalau sekarang, kita harus minta izin dulu kalau enggak masuk ke kantor. Nanti dibalik, kalau mau ke kantor justru kita harus minta izin dulu karena akan disiapkan meja dan sebagainya,” jelas Pak Bud. Begitulah perubahan menjalar dalam sistem mobile office. Beberapa media masih setengah mempraktekan ini lantaran menghindari wartawan muda menjadi wartawan karbitan karena tulisannya masih belum rapi dan miskin isu jika tidak berdiskusi dengan redaktur di kantor.

Satu hal juga yang menarik dari presentasi Pak Bud ketika dia bilang, “Saya ditanya , apakah masih bekerja mengurus redaksi? Saya sudah tidak urus lagi karena memang redaksi harus menyesuaikan dengan perubahan pembaca.” Pesan yang saya tangkap, bahwa dengan usia yang sudah lebih senior (54 tahun), lebih baik regenerasi. Omongan Pak Bud mengingatkan saya pada presentasi seorang direktur sebuah perusahaan teknologi informasi. Dia menegaskan banyak perusahaan IT gagal mengikuti tren pasar karena tim riset dan pengembangan (litbang) sebagai motor ide justru diisi oleh orang-orang yang tua. Saya tidak mengatakan orang tua harus pensiun, tapi posisi anak muda untuk memahami tren pasar mestinya dikedepankan.

Mengakhiri presentasinya, Pak Bud menjelaskan tiga hal yang merubah budaya global: celana jeans, minuman Coca-Cola, dan web. Selain itu, dia juga memaparkan tiga hal yang bisa menghambat pertumbuhan media ke depan yakni Harmony Culture Error, Seniority Error, dan Old Nation Error. Tiga hal ini juga pernah dikemukakan seorang konsultan manajemen, Yodhia Antarika, dalam tulisannya berjudul “The Death of Samurai: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo”.

Penjelasan singkatnya, Harmony Culture Error lebih pada kebiasaan manajemen mementingkan konsensus sehingga membuat banyak perusahaan lamban mengambil keputusan, sementara kompetitor bergerak lebih cepat. Budaya menjaga harmoni ini menjadi tragedi di era digital lantaran ide-ide kreatif justru tak berkembang. Adapun Seniority Error lebih pada kebiasaan yang selalu mementingkan senioritas, sungkan pada atasan, sehingga inovasi pun terpendam.


Terakhir Old Nation Error, kebiasaan ini masih berhubungan dengan faktor kedua tadi. Banyak karyawan yang sudah bekerja puluhan tahun, menua, biasanya sudah dininabobokan zona nyaman yang pada akhirnya membuat mereka kurang peka dengan inovasi dan cepatnya perubahan. Itu sebabnya inovasi sulit menjadi nafas bagi perusahaan saat berkompetisi di era digital.

“Mengapa teknologi Jepang sekarang kalah dari Apple dan lainnya? Jangan-jangan nanti ada mobil Apple. Harmoni ini terjadi karena terlalu banyak sopan santun. Terlalu banyak orang yang sungkan [ke atasan]. Jadi yang dilihat bukan kompetensi.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun