Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Simpan Pinjam Perempuan, Anda Mau Pinjam?

26 Agustus 2015   23:43 Diperbarui: 26 Agustus 2015   23:43 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Tabrani Yunis

Apa yang ada dalam pikiran anda ketika mendengar orang menyebutkan " Simpan Pinjam Perempuan"?  Apakah anda merasa terganggu dengan sebutan itu? Mungkin sebaliknya, seperti kebanyakan orang, anda nyaman-nyaman saja ketika mendengar ucapan orang dengan simpan pinjam perempuan tersebut, karena itu adalah hal biasa, tidak menjadi persoalan bagi kaum perempuan atau bagi para aktivis perempuan dan juga bagi mereka yang selama ini melakukan kegiatan pemberdayaan perempuan, seperti  pihak yang menggagas dan menjalankan program ini, yakni PNPM.  Karena, sampai saat ini, sebutan simpan pinjam perempuan itu masih tetap bertahan dan secara berulang dan masih belum berubah. Ya masih disebut dengan program Simpan Pinjam Perempuan yang disingkat dengan SPP itu. Para petugas program ini, bahkan para perempuan yang menjadi penerima manfaat atau beneficiaries juga menyebutkan dengan hal yang sama, yakni simpan pinjam perempuan.

Pertanyaannya adalah tidakkah mereka merasa bahwa sebutan Simpan Pinjam perempuan itu memberikan konotasi negatif, bila tidak boleh dikatakan sebagai sebuah bentuk pelecehan atau harrasment terhadap perempuan? Sesungguhnya ini adalah sebuah ungkapan yang sangat melecehkan dan menyakitkan. Pertanyaan yang pertama muncul di kepala kita adalah perempuan mana yang disimpan dan perempuan mana pula yang dipinjam?  Anak perempuan siapa yang disimpan dan anak perempuan mana pula yang bisa dipinjam. Jadi, sangat ironis bukan? Perempuan seakan-akan menjadi objek barang yang bisa disimpan dan juga kapan saja bisa dipinjam. Betapa malangnya para perempuan. Oleh sebab itu, sejak pertama program ini bergulir di Aceh dan juga di Indonesia, saya secara pribadi merasa sedih mendengar sebutan itu. Apalagi setelah saya tahu bahwa sebenarnya sebutan yang benar adalah Simpan pinjam untuk perempuan. Namun, karena singkatannya SPP, bukan SPuP lalu kemudian berkembang dan tersosialisasi dengan sebutan Simpan Pinjam Perempuan itu terus mengkristal di tengah masyarakat.

Sebagai bentuk ungkapan kesedihan dan keprihatinan saya terhadap sebutan itu, saya selalu menyuarakannya bila ada pelatihan (training) yang saya fasiltasi. Saya menyampaikan kepada para perempuan agar bisa mengkritisi penggunaan sebutan SPP atau Simpan Pinjam perempuan tersebut. Sya juga mempertanyakan pertanyaan yang sama seperti saya sebutkan di awal tulisan ini. Selain itu, bila ada pertemuan para aktivis perempuan, say juga mengingatkan kepada mereka bahwa sebutan Simpan pinjam peempuan itu sangat merendahkan martabat perempuan.  Kemudian, pernah suatu saat saya mendapat undangan dari pihak PNPM yang pada saat itu menggelar acara pameran produk kelompok Simpan Pinjam perempuan di Taman Sari Banda Aceh dalam kapasitas meliput acara tersebut. Sebagai lelaki yang sejak tahun 1993 melakukan kegiatan pemberdayaan dan penguatan perempuan akar rumput ( garssroots women) di Aceh, saya merasa tidak nyaman ketika menemukan tulisan Simpan Pinjam Perempuan dalam TOR dan undangan. lalu, saya secara sadar mengirim email kepada pihak yang mengirimkan undangan kepada saya. Apa yang saya tulis dalam email itu adalah ungkapan keprihatinan saya terhadap sebutan itu. Saya memutuskan untuk tidak melakukan peliputan, karena saya merasa tidak nyaman dengan sebutan ini.

Saya membayangkan, bagaimana  perempuan itu adalah ibu saya, adik saya, kakak saya, yang disimpan dan dipinjamkan. Sangat tidak etis bukan? Bukan hanya tidak etis, tetapi memang tidak boleh terjadi. Oleh sebab itu, menurut saya sebutan Simpan Pinjam perempiuah itu seharus kembali kepada sebutan yang benar yakni Simpan Pinjam untuk Perempuan. Sehingga bila disingkatkan, maka tidak lagi disebut dengan SPP, akan tetapi SPuP. Dengan demikian, maka tidak ada lagi salah tafsir, salah terjemah dan sesat fikir terhadap program simpan pinjam tersebut. Oleh sebab itu pula, para perempan dan aktivis peempuan seharusnya bisa bersikap lebih kritis terhadap hal ini. Tidak boleh dibiarkan sebutan itu terus berkembang dan digunakan oleh masyarakat, karena sebutan itu sangat melecehkan dan merendahkan martabat perempuan. Mari kita renungkan sejenak, untuk apa kita memberdayakan perempuan, kalau pikiran dan tindakan kita malah melecehkan dan merendahkan martbat perempuan. Mari kita hilangkan sebutan Simpan Pinjam Perempuan itu.

 

banda Aceh, 26 Agustus 2015

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun