Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menghitung Untung dan Mengenang Momen Terbaik di Kompasiana

27 Oktober 2016   00:12 Diperbarui: 27 Oktober 2016   07:19 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Tabrani Yunis

Aku tercatat menjadi salah satu Kompasianer pada tanggal 26 April 2010. Belum begitu lama, namun bila dihitung-hitung dan dibandingkan dengan usia Kompasiana, usia persahabatanku dengan Kompasiana dan Kompasianer tidak jauh lebih tua. Ya cuma dua tahun. Bukan dua abad. Eh, memangnya usia kita bisa sampai dua abad? Tidak. Tentu saja tidak. 

Ya pokoknya, usia Kompasiana masih muda. Usia keberadaanku di Kompasiana pun lebih muda. Jadi wajar saja kalau Kompasiana punya catatan perjalanan yang lebih panjang dari aku, karena Kompasiana adalah pemilik warga yang sangat global. Namun, tak dapat dipungikiri bahwa aku juga selama ini menjadi salah satu yang ikut corat coret di dinding Kompasiana. 

Paling tidak adalah sekitar 268 tulisan yang ditayangkan dengan jumlah pembaca yang masih relative kecil, yakni 156,47. Belum begitu banyak bukan?   Ya belum dong. Lihat saja, yang menjadi headline baru ada 14 kali dan pilihan 118 kali. Jadi masih kalah kalau dibandingkan dengan teman-teman yang lain yang tingkat produktivitas menulis dan berkaryanya cukup tinggi.

Terlepas dari itu, aku tidak perlu berkecil hati. Sebab kalau terus-terusan berkecil hati, aku bisa menjadi manusia kerdil. Oleh sebab itu, dari pada membanding-bandingkan dengan orang lain, lebih baik aku belajar bersyukur. Aku harus bisa belajar apa yang sudah aku dapatkan, ya katakanlah belajar menghitung untung dari kehadiran dan keikusertaanku sebagai anggota Kompasianer. Memangnya ada untung ketika kita tercatat sebagai salah satu warga Negara Kompasiana?

Aku memang harus pandai bersyukur, pandai berterima kasih. Aku harus pandai pula melihat nikmat, agar aku tidak tergolong ke dalam kelompok orang-orang yang kufur nikmat. Tentu dalam konteks 8 tahun Kompasiana ini aku  paling kurang bisa menghitung nikmat untung dari aksi bergabung menjadi salah satu anggota warga kampong Kompasiana yang sudah 6 tahun lamanya. 

Tentu saja sebagai salah satu warga kampong Kompasiana, banyak iktibar yang didapat, walau sebenarnya sebelum menjadi warga Kompasiana, aku sudah sejak tahu 1989 mulai menulis di media cetak yang berawal dengan media cetak di negaraku negeri Serambi Makkah. 

Hmm, maaf kalau aku menyebutkan Negara, karena Aceh sebelumnya disebut sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, yang kini menjadi Aceh lagi. Ya, aku memulai debut menulis di harian Serambi Indonesia di pertengahan tahun 1989. Lalu, aku lanjutkan ke media terbitan Medan, seperti harian Waspada, harian Analisa, dan kemudian juga mencoba merambah ke media cetak di ibu kota Jakarta, seperti waktu itu ada mingguan Swadesi, lalu pernah dimuat di Suara Pembaruan, Republika, the Jakartapost dan juga pernah dua kali di harian Kompas, serta media lain yang aku sempat menulis. Aku memetik banyak keuntungan dari menulis, termasuk menerima honor yang lumayan besar dari Kompas.

Selain menjadi penulis lepas yang bidangku mengisi ruang opini, aku mulai tahun 1998 mulai tertarik untuk menerbitkan sebuah media. Sejalan dengan apa yang aku geluti sebagai seorang yang berkecimpung di dunia LSM dan concern dengan persoalan nasib perempuan, pada tahun 2003, lewat lembaga yang dulu aku dirikan bersama teman-teman, Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, menerbitkan POTRET, dengan taglaine saat itu, Media Perempuan Aceh. Kini berubah mejadi media perempuan kritis dan cerdas. Majalah yang diterbitkan dari sebuah keprihatinan terhadap minimnya perempuan yang menulis di media. 

Maka, sejak tahun 1998, aku mencoba merencanakan untuk menerbitkan POTRET tersebut. Baru pada tanggal 11 januari 2003, setelah melatih sebanyak 25 perempuan akar rumput dengan ketrampilan menulis, POTRET diterbitkan dengan tampilan yang sangat sederhana berupa newsletter hingga bencana tsunami 26 Desember 2004 terjadi. Setelah itu, karena kantor majalah POTRET yang terletak tidak jauh dari bibir pantai, di perbatasan desa Kajhu dan Cadek Permai, Aceh Besar itu, semua hilang disapu tsunami. 

Penerbitan POTRET pun terhenti. Baru pada tahun 2006, sekitar bulan Februari 2006, POTRET mulai diterbitkan lagi dengan format stengah majalah. Maksudnya, tampilannya bukan lagi newsletter, tetapi lebih kurang seperti bulletin. Majalah POTRET terus bermetamorfosis dan menjadi satu-satunya majalah perempuan di Aceh. Sayang, nasibnya bagai kerakap tumbuh di batu, walauu sudah masuk tahun ke 14.

Mendaftar menjadi Warga Kompasiana

Ya, terus terang, kalau tidak terang terus, aku mulai secara resmi menjadi anggota warga Kompasiana pada tanggal 26 April 2010, setelah melalui proses verifikasi oleh pengelola Kompasiana.com. ketertarikan aku untuk bergabung, tidak terlepas dari kebutuhanku menulis dan menebarkan pengetahuan serta sebagai penawar rinduku pada ratusan tulisanku yang hilang kala bencana tsunami meneghanyutkan semua yang aku miliki saat itu. Aku kemudian menjadikan Kompasiana sebagai media terapi, yang mengobati rasa sakit karena ditusuk-tusuk oleh rasa rindu tersebut. 

Terapi yang membuat hati ini merasa senang, merasa bahagia, serta merasa puas, karena bisa menyalurkan apa saja yang ada di benak. Ketika rasa sakit hati muncul, karena tulisan yang diposting tidak masuk dalam kategori pilihan atau tidak masuk headline, bahkan dihapus, kekecewaan itu bisa diungkapkan lagi dalam tulisan. Ya membuat aku merasa lebih produktif. Jadi ini juga masuk dalam hitungan untungnya.

Nah, karena itu adalah untung, maka, aku semakin termotivasi untuk melakukan postingan tulisan di Kompasiana.com itu. Tentu bukan hanya itu. Masih sangat banyak keuntungan lain bisa dihitung.  Beberapa contoh keuntungan lain di antaranya. Pertama, aku memiliki ruang ekspresi sendiri yang bisa aku isi kapan saja, bagaikan blog pribadi atau  sendiri. Artinya aku tidak perlu membuat blog khusus yang kadang jumlah pengunjungnya sangat sedikit. Sementara di Kompasiana, bila tulisan kita menarik, maka akan banyak yang membaca, banyak yang memberi nilai dan bahkan banyak yang memberikan tanggapan atau komentar. 

Ini adalah hal yang membahagiakan hati. Kedua, menjadi warga Kompasiana, memberikan aku keuntungan lain, yakni bertambahnya sahabat yang memiliki minat yang sama, yakni menulis atau berkarya lewat tulisan. Aku bahkan bisa mengajak mereka ngobrol di media yang tergolong bergengsi. Ketiga, Kompasiana membuat aku dikenal banyak orang. Ini sangat menguntungkan. Semakin banyak orang mengenal kita, semakin banyak teman yang kita miliki dan semakin banyak kemududahan yang kita bisa peroleh. 

Ke empat,  Kompasiana menambahan bahan cerita atau materi saat aku menjadi fasilitator training menulis di beberapa tempat. Kelima, juga menjadi media bagi aku memperkenalkan produk yang aku buat, misalnya pada identitasku selalu aku cantumkan majalah POTRET dan majalah Anak Cerdas serta CCDE. Jadi sungguh banyak sekali untung (advantages) yang bisa aku petik selama menjadi warga Kompasaiana, walaupun aku pernah merasa kecewa ketika ada photo ilustrasi yang aku ambil dari google dihapus, bahkan hal yang sangat menyakitkan saat itu adalah ketika tulisanku yang terkait majalah POTRET dihapus, karena alasan mempromosikan majalah POTRET. Namun kemudian, kekecewaan itu aku lampiaskan kembali dalam tulisan yang aku posting di Kompasiana.

Momen terbaik bersama Kompasiana

Aku yakin, tidak semua orang dan tidak banyak orang yang bisa mendapat kesempatan seperti aku. Kesempatan baik ini berkat aku menjadi warga Kompasiana. Tahukah rekan-rekan kesempatan apa itu gerangan? Ingin tahu? Sabar dikit dong. Tidak perlu buru-buru mendapatkan jawabannya.

Aku teringat, saat itu ketika aku sedang mengendari mobil dalam perjalan kembali dari kampong istriku di Ule Gle, Pidie Jaya, HPku bordering. Artinya aku mendapat panggilan telepon. Aku melihat kode wilayahnya Jakarta. Lalu, aku meminggirkan mobil dan menjawab panggilan telepon tersebut. Betapa mengejutkan saat itu, ternyata, telepon itu datang dari admin Kompasiana. Sambil memperkenalkan diri saat itu, sang penelpon mengajakku untuk handout pada pukul 20.00 malam.

Wah, ini kesempatan yang istimewa bagiku, karena aku mendapatkan kesempatan untuk ikut berpatispasi dalam acara di Kompasiana TV. Tanpa harus mendatangi studio, aku cukup menggunakan laptopku dan duduk di ruangan yang terhubung dengan internet. Aku mendapat kesempatan untuk memberikan pemdap[at dalam diskusi atau perdebatan malam itu. Otomatis wajahku ada di Kompasiana TV saat itu. Sebenarnya, untuk tampil di televise, ini bukan yang pertama, karena aku juga di Banda Aceh sering diundang untuk acara talkshow mengenai pendidikan, mengenai perempuan serta mengenai anak-anak, serta lainnya. 

Namun, tampil di Kompasiana TV, walau dalam durasi yang sangat pendek, tetapi gemanya begitu besar. Lalu, setelah usai acara, aku diminta untuk mengirimkan nomor rekening. Wow, ternyata bukan hanya mendapatkan kesempatan tampil di Kompasiana TV, tetapi juga menatlan rezeki berupa uang yang ditransfer ke rekening. Alhamdulilah. Berarti ini bisa dianggap sebagai honor atau imbalan dari tulisan-tulisan yang pernah diposting di Kompasiana.

Ini benar-benar istimewa. Apalagi ini bukanlah yang terakhir, walaupun ini adalah yang pertama. Mengapa demikian? Aku kemudian beberapa bulan berselang kembali mendapat kesempatan kedua untuk ikut serta hangout dan ikut memberikan suara pada acara talkshow di Kompasiana TV. Artinya, ini menjadi momen terbaikku bersama Kompasiana. Kesempatanku bukan hanya satu, tetapi dua kali mendapatkan rezeki di musim semi. Dua kali ikut bicara, dua kali dapat rezeki. Siapa tahu dlam waktu dekat akan ada lagi. Hmmm. semoga saja.

Jadi, tidak salah bila aku memang harus menghitung untung karena bergabung menjadi warga Kompasiana. Oleh sebab itu, dengan segala suka cita, aku sepatutnya menyampaikan selamat ulang tahun yang ke 8 Kompasiana.com. Semoga semakin menjadi tempat yang aman dan nyaman  bagi masyarakat Indonesia untuk berkarya di Kompasiana. Dirgahayu Kompasiana. Happy birth day. Wishing you all the best.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun