Kemudian muncul pertanyaan retoris, manakah klaim yang benar antara Pemerintah Indonesia dan kelompok separatis Papua? Dua-duanya sama-sama memiliki dasar hukum untuk argumen nya. Klaim mereka sama-sama berdasarkan sumber primer hukum Internasional.
Memang Hak menentukan nasib sendiri dianggap sebagai jus cogens yang berarti norma fundamental yang harus ditaati. Namun, bukan berarti kedaulatan dan integritas teritori Negara bisa dilanggar. Yang membedakan Hukum Internasional adalah pelaksanaannya. Prinsip utama pelaksanaan Hukum Internasional adalah persetujuan Negara atau state consent.
Walaupun suatu pihak berbusa-busa meminta dilaksanakannya referendum di Provinsi Papua, tidak ada satupun entitas yang berhak memaksakan dilaksanakannya referendum. Perdana Menteri Australia menyurati B.J Habibie menyarankan agar segera dilaksanakan referendum di Timor Timur.
Habibie kemudian meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk mengatur referendum tersebut. PBB tidak bisa seenaknya masuk ke teritori Negara melakukan referendum tanpa diminta. Kembali lagi, ini karena doktrin bahwa negara berdaulat (sovereign).
Dalam Piagam PBB, penggunaan kekuataan (use of force) terhadap Negara hanya boleh dilakukan oleh anggota Dewan Keamanan PBB dengan voting atau aksi bela-diri (self-defense). Namun, ini dilanggar oleh NATO ketika mereka membombardir Yugoslavia dengan bom tanpa persetujuan PBB.
Hukum Internasional dilanggar begitu saja oleh NATO, tanpa ada konsekuensi. Lembaga Hak asasi manusia mengecam keras, lucunya NATO diisi oleh Belanda, Denmark, Norwegia, Inggris, Amerika Serikat, dll. Negara yang berperan penting dalam kodifikasi Hukum Internasional.Â
Contoh lain, Jurnalis di Arab Saudi disiksa hingga tewas. Amerika Serikat membangun penjara Guantanamo Bay untuk menyiksa teroris Muslim. Walaupun penyiksaan termasuk dalam norma jus cogens yang tak boleh dilanggar, PBB tidak bisa mengirim utusan untuk menangkap Presiden Amerika dan Raja Arab Saudi. Ini semua kembali pada konsensus Negara.
Setelah membicarakan referendum dari kacamata Hukum, ada baiknya membicarakan dampak dan penyebab referendum dari segi politik. Timor Timur ingin lepas dari Indonesia karena merasa punya "masa depan" lebih cerah dengan sumber daya alam minyak di laut Timor. Australia membantu kemerdekaan Timor Timur dengan syarat meminta hak terhadap minyak tersebut.
Hingga saat ini, Australia masih menguasai minyak tersebut. Rakyat Timor masih tidak mendapatkan keuntungan. Begitu pula dengan proses referendum di provinsi Bougainville, Papua Nugini. Tambang emas paguna menjadi akar permasalahan konflik berkepanjangan disana.
Bukan menjadi rahasia umum, bahwa konflik di Afrika saat ini didorong oleh kepentingan bangsa lain yang ingin memanfaatkan sumber daya alam. Jika kita bandingkan Gross domestic product (GDP) dan Human development Index (HDI) Provinsi Papua dan Papua Nugini, hasilnya mengejutkan.
Papua Nugini yang merupakan Negara merdeka lebih rendah dari Provinsi Papua. Sudah bukan rahasia umum juga, bahwa tingkat kriminalitas dan pemerkosaan di Papua Nugini salah satu yang tertinggi di dunia.