Mohon tunggu...
aldi tabrani
aldi tabrani Mohon Tunggu... Lainnya - Allegans contraria non est audiendus

Mahasiswa Hukum Internasional dan Eropa The Hague University di Den Haag, Belanda.

Selanjutnya

Tutup

Money

Dilema Demokrasi atau Otoriter dalam Menghadapi Pandemik Covid-19

8 Mei 2020   03:31 Diperbarui: 9 Mei 2020   00:16 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dunia seakan berubah seperti adegan klimaks film action. Jalan raya, toko, pusat perbelanjaan dan tempat rekreasi lain kosong tanpa ada keramaian. Kemanakah orang-orang tersebut? Setiap manusia, entah mereka tipe introvert atau extrovert pastinya terkejut. Se-introvert apapun pastinya manusia butuh interaksi sosial. Baik untuk pergi ke sekolah, bekerja atau membeli kebutuhan pokok. Hal ini disebut sebagai hak atas kebebasan. Pada hakikatnya, manusia diberi kebebasan selama mereka tidak melakukan tindak pidana. Hak atas kebebasan manusia diambil oleh Negara, begitu kedua tangan nya diborgol. Dengan alasan tersebut, itulah mengapa seseorang yang diborgol kedua tangan nya wajib didampingi pengacara disisinya.

            Ketika dunia dilanda pandemik covid-19, berbagai Negara mengeluarkan kebijakan yang berbeda. Kebijakan tersebut membatasi ruang gerak manusia. Lockdown atau Physical distancing membuat kegiatan yang membutuhkan interaksi sosial dibatasi. Manusia yang terbiasa bangun tidur dan melakukan aktifitas dengan bebas kini harus bersabar karena hak atas kebebasannya dikurangi. Dampak tersebut jelas dirasakan secara psikis, belum lagi jika terpaksa di-PHK dari pekerjaan.

            Seluruh manusia sekarang hanya bisa berharap pandemik ini dapat cepat berlalu. Vaksin adalah harapan terbesar untuk menyelesaikan pandemik covid-19. Berkaca dari pandemik sebelumnya, vaksin tidak mudah untuk ditemukan. Manusia harus bersabar dengan pola hidup dan aktifitas sekarang yang dinamakan sebagai “New normal” . Sembari menunggu vaksin yang berliku-liku, kebijakan setiap pemerintah dalam menghadapi covid-19 menjadi harapan kedua.

            Kebijakan lockdown pertama diambil oleh Republik Rakyat Cina pada salah satu provinsi nya, Hubei. Ketika diterapkan oleh Italia, nampaknya kebijakan Lockdown kurang efektif. Banyak populasi di provinsi Lombardy yang meninggalkan tempat tersebut ke provinsi lain di Italia. Singapura, Vietnam dan Korea Selatan menggunakan aplikasi untuk melacak pasien covid-19. Negara Eropa seperti Belanda mengeluarkan wacana untuk membuat aplikasi serupa. Ahli privasi dari Universitas Tilburg di Belanda mengkritik tajam usulan tersebut. Warga Belanda juga menyatakan kekhawatiran nya perihal hak atas privasi mereka.

            Amerika Serikat dengan kasus covid-19 terbanyak di-seluruh dunia justru berkecamuk dengan politik domestiknya. Amerika sekarang dalam tahun politik. Pemilihan umum didepan mata, Partai demokrat lawan republik dan Trump lawan Joe Biden. Sebelum covid-19, Partai Demokrat dipimpin Nancy Pelosi melakukan upaya pemakzulan (Impeachment) terhadap Presiden Donald Trump. Upaya tersebut memang gagal di Senat yang mayoritas diisi oleh Partai Republik. Trump enggan melakukan kebijakan keras yang merugikan ekonomi Amerika. Ini dikarenakan oleh janji politik Trump, “Make America great again” yang berarti memperbaiki ekonomi Amerika Serikat. Gubernur negara bagian dari Partai Republik mulai membuka tempat umum untuk menjalankan misi Trump. Di Negara bagian dengan gubernur dari Partai Demokrat, unjuk rasa dilakukan dengan tuntutan pembukaan tempat publik. Kebanyakan dari mereka justru didukung oleh Trump.

            Seluruh contoh buruknya demokrasi tidak mungkin terjadi di Negara otoriter seperti China, Vietnam atau Singapura. Ketakutan pemimpin akan menghadapi pemilihan umum atau kritik tajam perihal privasi tidak terjadi di Negara tersebut. Rakyat patuh dan Pemerintah bergerak cepat. Korea Selatan sendiri dapat disebut sebagai demokrasi iliberal. Dalam artian, sebuah negara demokrasi tapi dengan konteks kebebasan sipil yang masih lazim dikekang. Belanda atau Amerika Serikat adalah Negara demokrasi liberal. Bukan berarti seluruh negara demokrasi gagal menghadapi covid-19. Jerman adalah contoh negara demokrasi liberal yang dianggap berhasil menghadapi covid-19. Namun dengan beberapa faktor, seperti tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya. Kanselir Angela Merkel, pemimpin Jerman adalah ilmuwan handal. Merkel sudah mengatakan dia tidak ingin maju ke pemilihan umum lagi. Dengan begitu, berbeda dengan Trump yang harus memikirkan lawan politiknya untuk membuat kebijakan.

            Dengan berbagai konotasi negatif dari demokrasi, muncul pertanyaan retoris “Apakah otoriter lebih baik?”. Tidak juga. Jika dilihat dari awal mula pandemik covid-19, Pemerintah China menutup informasi secara penuh. Dokter yang pertama kali memperingatkan wabah baru mirip SARS dipaksa untuk tutup mulut. Di Hungaria, covid-19 digunakan oleh pemimpin nya untuk mempertahankan kekuasaan. Perdana Menteri Viktor Orban di Hungaria mendapat mandat dari parlemen untuk memimpin Negara menggunakan dekrit. Tanpa ada batasan kapan mandat ini berakhir, artinya Viktor bisa saja mengeluarkan dekrit untuk mewarnai lampu merah di Hungaria dengan warna kuning. Contoh lucu ini menggambarkan seberapa besar kekuataan yang dia dapatkan karena covid-19. Dekrit yang pastinya akan dikeluarkan oleh Viktor tentunya untuk menghilangkan oposisi dan kritik atas dirinya. Hal ini mustahil bisa terjadi di Negara demokrasi liberal seperti Belanda dan Amerika, check and balances akan tetap menjadi mekanisme kontrol yang mutlak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun