Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kompasiana, 10 Tahun yang Lalu dan yang Akan Datang

6 November 2018   13:04 Diperbarui: 6 November 2018   14:03 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap orang mungkin punya persepsi yang berbeda tentang jangka waktu 10 tahun.

Bagi manusia, umur 10 tahun mungkin masih SD kelas 5. Umur segini, boro-boro dewasa, bahkan makan pun masih ada yang disuapi.

Bagi binatang misalnya Macan, usia 10 tahun adalah usia matang, karena umumnya mereka "cuma" berusia sampai 20 tahun. Namun bagi binatang lain seperti Kura-kura, usia 10 tahun mungkin masih belum apa-apa, masih "bau kencur" (walaupun Kura-kura sepertinya nggak doyan kencur). Karena ada beberapa jenis Kura-kura yang bisa hidup sampai usia 100 tahun.

Lain dengan binatang/makhluk hidup, lain lagi dengan teknologi. Dalam jangka "hanya" 10 tahun, sudah banyak kemajuan yang bisa dicapai dengan teknologi.

Teknologi Web yang juga menjadi dasar teknologi Blog Kompasiana ini, desainnya dibuat oleh "Bapak WWW (World Wide Web)" Sir Tim Berners-Lee pada tahun 1990. Dialah yang merancang Hypertext, sekaligus protokolnya yaitu HTTP, dan tak ketinggalan browser web.

Dalam kurun waktu 10 tahun setelahnya, teknologi penunjang web yang muncul amat banyak. Untuk menyebutkan beberapa diantaranya adalah, munculnya XHTML, Action Script, RSS, SSL, PHP, Java, Java Script,CSS, SOAP, dan sebagainya yang pembaca bisa menambahkan sendiri daftarnya.


Dalam jangka waktu 10 tahun, menurut tulisan COO Kompasiana, sampai September lalu sudah ada 381 ribu anggota, dengan total konten yang tayang sekitar 1.6 juta di Kompasiana. Ini bukan jumlah yang sedikit.

Mungkin kita semua sebagai pembaca Kompasiana beruntung karena di tengah "banjir bandang" informasi saat ini, tim Kompasiana "rela" menyortir tulisan yang layak dan menayangkannya disini.

Tim Kompasianalah yang "mengunyah"kan informasi itu agar kita sebagai pembaca tinggal "menelannya" saja. Walaupun tidak bisa dipungkiri, terkadang hasil "kunyahan" masih belum sempurna, sehingga kita perlu "minum air" sebagai pembantu agar kita bisa "menelan" dan menggelontor informasi yang disajikan dengan baik.

Bagi saya, menulis diplatform "keroyokan" seperti Kompasiana ini memang memiliki keasyikan tersendiri. Karena, saya tahu pembaca Kompasiana mempunyai berbagai macam latar belakang yang berbeda antara satu dan lainnya. Sehingga, misalnya kalau saya mau menulis tentang topik yang berhubungan dengan teknologi, maka saya (dengan tidak) "terpaksa" harus memilih diksi dan merancang alur tulisan sedemikian rupa agar isinya mudah difahami oleh semua orang.

Menulis dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, merupakan tantangan lain yang "dengan gembira" saya jalani, karena kalau bukan kita yang memakainya dengan baik dan benar, lalu siapa lagi?

Sebenarnya saya bersyukur karena sebagai orang Indonesia, mempunyai Bahasa Indonesia yang lebih fleksibel dan tidak ada batasan huruf karena kita bebas merangkai kata dari huruf "a" sampai "z".

Berbeda dengan Bahasa Jepang, yang mengharuskan orang untuk menggunakan kanji dari daftar yang disebut Jouyoukanji (Kanji untuk digunakan sehari-hari), yang "hanya" terdiri dari 2136 aksara kanji. Ditambah lagi, ada juga beberapa aksara kanji yang mempunyai lafal yang sama, sehingga ketika saya membuat tulisan (makalah) atau membuat laporan, saya harus benar-benar mengecek apakah kanji yang saya gunakan itu sesuai dengan arti yang mau saya tulis. Bisa dibayangkan rempong-nya kan?

Karena baru dalam tahap "belajar" menulis (dalam Bahasa Indoensia), maka saya hanya mempunyai 49 artikel di akun lama saya sejak 1 Juli 2017. Entah kenapa tiba-tiba akun itu diblok. Saya sudah menuliskan keluhan melalui email, dan dikatakan "mungkin" saya telah komen sesuatu yang membuat saya diblok di Kompas.

Mungkin saya lupa, tapi tujuan saya membuat akun adalah untuk menulis di Kompasiana, dan saya tidak merasa pernah komen yang "aneh" di Kompas.com (komen di Kompasiana juga jarang). Saya juga baru tahu bahwa ada beberapa member yang mengalami nasib serupa, setelah membaca tulisan mereka.

Saya tidak mau berargumen panjang tentang hal ini (misalnya, saya curiga di coding SSO nya, karena terkadang dengan beberapa trik saya masih bisa login dengan akun lama walaupun kemudian "nyangkut" lagi). SSO memang terkadang bermasalah, seperti pengalaman saya ketika mengurus misalnya pesan tiket melalui Web kantor (karena semua sistem web di kantor memakai SSO supaya praktis), yang akhirnya bisa diatasi oleh team IT. 

Toh untuk membuat akun baru di Kompasiana juga gratis. 

Akhirnya, saya membuat akun baru (yang saya pakai sampai sekarang) dan sudah menulis sebanyak 37 artikel sejak 9 Februari 2018.

Sebenarnya ada banyak ide dikepala yang ingin saya tuangkan karena banyak informasi/kejadian yang saya baca maupun alami di Jepang, yang mungkin menarik untuk dibagikan kepada pembaca.

Mulai dari kejadian yang remeh-temeh sehari-hari, kejadian di jalan, tentang kegiatan saya sebagai "roudousha (alias kuli)", tentang teknologi, keunikan budaya, keindahan alam dan lainnya.

Meskipun, tidak menutup kemungkinan banyak juga kejadian di Indonesia yang lucu bin fantastis yang bisa dijadikan bahan untuk tulisan, misalnya dari orang-orang seperti FH, FZ, AR, AD, RG, ES, RS, kemudian RS yang satunya lagi, dan lain-lain.

Terus, kenapa tulisanmu sedikit?

Kalau mau alasan yang agak cliche, walaupun ada ide, tapi saya jarang menulis karena waktu saya untuk kegiatan menulis terbatas.

Namun alasan yang paling tepat menurut saya adalah, karena saya masih harus banyak belajar menulis dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Dan kalau saya boleh berharap yang muluk, saya tidak mau pembaca hanya bisa MEMBACA tulisan saya saja, tapi saya berharap mereka bisa MENIKMATINYA (capslock tidak rusak).

Tentunya saya tidak ingin ada orang yang mulas perutnya, atau napas kembang kempis setelah membaca artikel saya di Kompasiana.

Dalam rangka 10 tahun Kompasiana, bolehkah saya usul, sedikiit saja.

Mengutip kembali tulisan COO Kompasiana (mudah-mudahan akun saya ini nggak diblok lagi karena kebanyakan ngutip tulisannya ^^;; ), mengatakan Kompasiana secara tidak langsung berkompetisi dengan F-T-I. Dengan berdasar pada pernyataan itu, maka boleh dong kalau tulisan di Kompasiana diberikan interface biar bisa memajang foto hasil jepretan kamera 360 derajat (misalnya Ricoh Theta). 

Dulu sempat ada interface untuk Instagram, tapi sekarang fiturnya dihilangkan (untuk sementara atau selamanya?). Bai de wei busway, Facebook sudah membenamkan API yang mengakomodasi foto 360 derajat lho.

Kedepan, saya berharap agar Kompasiana bisa menjadi pionir dari penyedia konten serupa di tanah air, dengan menyediakan fitur yang menunjang cutting edge technology.

Lalu, untuk tampilannya.

Saat ini tampilan di panel kanan  menyajikan artikel terpopuler, nilai tertinggi dan sebagainya. Kalau halaman utamanya, mungkin tampilan panel kanan bisa tetap seperti sekarang.

Boleh dong usul supaya panel kanan itu kalau bisa menampilkan juga artikel yang dipilih oleh tim Kompasiana dari member/tulisan yang jumlahnya fantastis (1.6 juta) itu jika kita masuk ke tiap kategori, misalnya kategori hiburan (https://www.kompasiana.com/hiburan). Disini, panel kanannya mungkin bisa diisi dengan artikel pilihan kategori hiburan (Film, Humor, Media, Musik) dari masa ke masa, yang diganti tiap minggu atau tiap bulan.

Karena kalau sekarang, panel kanan di semua kategori isinya sama dengan panel kanan di halaman utama/muka.

Ini juga bisa, selain untuk menambah wawasan dengan membaca artikel-artikel Kompasiana zaman dahulu (terutama bagi saya yang baru bergabung), siapa tahu dengan begini, sang pembuat tulisan yang sekarang sudah jarang muncul, mau dengan rela "turun gunung" dan mulai menulis lagi karena "terpancing" tulisannya yang dipajang disitu.

Mengenai fitur lain yang sifatnya cosmetics seperti layout, tampilan artikel, penyisipan AdClick, kolom komentar yang tidak banyak pilihan emoticon bahkan nggak bisa di-embed gambar, dan sebagainya sih saya menyerahkannya ke tim saja bagaimana baiknya. 

Yang pasti, sedapat mungkin tampilan dibuat "ramah" ke semua pembaca. Dalam arti, biar yang "fakir" data juga bisa nikmat berselancar di Kompasiana, tanpa tersendat-sendat download kontennya. 

Misalnya saja, konten di"optimize" dengan browser tertentu, dan mengumumkannya agar user sebisa mungkin menggunakan browser tersebut untuk kenyamanan membaca artikel yang maksimal di Kompasiana. Atau disediakan juga link yang "ramah" bandwith, karena bandwith ini juga resource yang harus kita hemat dan tidak boleh dipakai secara "boros".

Dulu, saya sering akses web menggunakan text-based browser seperti Lynx, untuk menghemat bandwith dan karena terkadang saya hanya butuh informasi tulisan saja. Saya belum sempat coba akses Kompasiana pakai text-based browser sih. Nanti saya akan coba.

Dalam rangka 10 tahun Kompasiana, apakah ada link yang memajang (atau pembaca yang menyimpan) perjalanan tampilan Kompasiana dari waktu ke waktu? Saya sudah lihat microsite Kompasianival, throwbacknya hanya menyajikan video saja. 

Bocoran sedikit nih, soalnya saya orang yang agak geek dan suka hal-hal seperti ini, misalnya saja kita bisa liat perjalanan tampilan Facebook dari tahun ke tahun disini.

--

"Eh, elo mau kemana," sapa pria berkaus merah.

" Mau ke Glodok, cari modul H2O terbaru untuk listrik di rumah, karena yang lama udah turun performance-nya," kata pria yang berkaus putih.

Sambil menyentuh ujung kacamatanya, yang sepertinya ada modul display virtual, pria berkaus merah mengecek sesuatu sambil memainkan mouse virtual dengan jarinya.

"Kayaknya ada yang komen tuh di tulisan Kompasiana elo barusan,"katanya.

"Oya, bentar gue cek."

Setelah pria berkaus putih menyentuh kacamatanya juga, dia memainkan jarinya pada virtual keyboard.

"Gue udah ping yang komen tadi. Gue cek dari lokasi geotag nya, dia lagi liburan ke Papua ternyata"

"Avatarnya offline, jadi gue nggak bisa nge-chat ama dia," lanjutnya lagi.

"Bentar bini gue telpon nih," ujar pria berkaus merah gantian, seraya memencet tombol di wristwatch nya.

Lalu hologram istrinya muncul dan mereka bercakap-cakap.

"Bini gue pesen jangan pulang kemaleman karena hari ini anniversary kita yang ke-10," ujarnya.

"Ah, itu hyperloop udah datang. Gue cabut duluan ya," kata pria berkaus putih terburu-buru, seraya men-tap wristwatch di pintu masuk sebelum naik.

Tidak lama kemudian pria berkaus merah juga pergi, berjalan menuju skylift, wahana yang membawanya langsung ke tempat dia bekerja di GlobalPALAPA, anjungan yang mengorbit 400 Km diatas bumi.

--

Itu tadi percakapan khayalan tentang kehidupan kita di masa depan.

Bagaimana perkembangan Kompasiana 10 tahun kedepan, saya tidak tahu. Seperti saya juga tidak begitu faham dan kurang bisa ber-imajinasi tentang apa dan bagaimana itu "beyond" blogging yang menjadi slogan Kompasiana sekarang.

Tapi yang pasti, saya (dan saya yakin pembaca juga) akan mendukung penuh, dan sebisa mungkin mewujudkan angan-angan tim Kompasiana (dan kita semua) untuk mewujudkan itu semua.

Jusshuunen Omedeto !

Selamat Ulang Tahun ke-10 Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun